Emmanuelle Charpentier dari Unit Max Planck, Institut Ilmu Patogen untuk Infeksi Biologi, dan Jennifer Doudna dari Universitas California, Berkeley telah diakui atas pekerjaan mereka pada penyuntingan genom CRISPR / Cas9, teknik yang sering disebut CRISPR untuk jangka pendek, dan sering disebut sebagai "gunting genetic." Keduanyamenjadwanitapertama yang dianugerahi Nobel bidang sains.

Dalam makalah seminal 2012, Charpentier dan Doudna menunjukkan bahwa komponen kunci dari sistem kekebalan kuno yang ditemukan pada bakteri dan archaea dapat dilengkapi kembali untuk mengedit DNA, yang pada dasarnya "menulis ulang kode kehidupan."

Delapan tahun sejak itu, penemuan tersebut telah mengubah ilmu kehidupan, membuat pengeditan genom menjadi biasa di laboratorium di seluruh dunia.

Keputusan Komite Nobel tidak diragukan lagi, akan dianggap kontroversial karena perselisihan yang dipublikasikan dengan baik tentang kekayaan intelektual terkait CRISPR.Virginijus Siksnys dari Universitas Vilnius di Lituania secara mandiri mengembangkan ide untuk menggunakan fitur genetik bakteri ini, sebagai alat pengeditan genom pada waktu yang hampir bersamaan dengan Charpentier dan Doudna.

Sedangkan dua ilmuwan lainnya, Feng Zhang dariInstitut Teknologi Massachusetts dan George Church dari UniversitasHarvard, juga sering dianggap sebagai rekan penemu dan pengembang awal teknologi CRISPR. Namun, tak seorang pun dalam komunitas ilmiah akan membantah bahwa karya Charpentier dan Doudna adalah dasar penggunaan CRISPR yang produktif.

Teknologi yang dikembangkan Charpentier dan Doudna meminjam kemampuan pemotongan genom yang tepat dari bakteri dan mengubahnya menjadi alat pengeditan genom yang lebih umum. Struktur genetik CRISPR sebagai alat penargetan dan enzim Cas9 untuk melakukan pemotongan.

Keduanya mulai menguraikan mesin molekuler yang terlibat dalam pertahanan CRISPR/Cas9 bakteri terhadap penyerang virus berulang. Pada dasarnya, ketika virus menyerang, bakteri yang masih hidup memasukkan sepotong DNA virus ke dalam rangkaian CRISPR mereka. Jika virus itu menyerang mereka atau keturunannya lagi, bakteri mentranskripsi bagian CRISPR yang berisi DNA virus menjadi RNA.

Untuk mengubahnya menjadi alat pengeditan gen yang lebih umum, Charpentier dan Doudna, bersama dengan rekan lainnya, menggabungkan dua jenis RNA menjadi satu, "RNA pemandu."

Pengeditan CRISPR dapat menghilangkan beberapa gen atau bentangan DNA. Tetapi para ilmuwan juga menemukan cara memanfaatkan mekanisme perbaikan alami sel untuk memperkenalkan urutan DNA yang mereka buat sendiri di lokasi pemotongan, memungkinkan mereka menambahkan kode genetik baru.

Para peneliti telah mampu menggunakan teknik pengeditan gen rekombinan "potong dan tempel" untuk memodifikasi sel sejak tahun 1970-an. Tetapi metode tersebut, yang juga didasarkan pada enzim bakteri yang terjadi secara alami, kurang memiliki tingkat presisi yang dapat dicapai CRISPR. Kemudahan penggunaan sangat membantu dalam membuat CRISPR dipakai di mana-mana.

Namun, kehadiran CRISPR bukan tanpa tantangan. Cara ini masih dapat mengakibatkan perubahan yang tidak disengaja. Misalnya, menyebabkan reaksi pada suatu organisme (termasuk respons imun). Maka, para ilmuwan terus berupaya mengembangkan versi CRISPR yang lebih canggih.

CRISPR juga belum tentu merupakan alat terbaik untuk setiap pekerjaan. Juga bukan merupakan kata terakhir dalam teknologi pengeditan genom. Ilmuwan juga menggunakan interferensi RNA (RNAi) dan enzim seperti transkripsi activator-like effector nucleases (TALENs) dan meganucleases untuk menulis ulang genom. SB/quantamagazine/G-1

Baca Juga: