Budaya Panji ditampilkan dalam rangkaian The 4th ASEAN Literary Festival (ALF) atau Festival Sastra ASEAN IV yang diadakan di Kota Tua, tepatnya di Museum Wayang, Jakarta.

Inisiator ALF Okky Madasari, mengungkapkan Budaya Panji ini menjadi menarik, karena tidak hanya ada di Indonesia, tapi cerita Panji juga dikenal di sejumlah negara di ASEAN dengan pengarang dan versi yang berbeda.

"ALF yang mengetengahkan Budaya Panji mempunyai semangat untuk menggelorakan kisah Panji sebagai warisan budaya penguat identitas kawasan," ungkapnya di Jakarta. Keunikan dan kepopuleran Panji menjadi inspirasi munculnya bentuk seni lain, seperti tari, wayang, topeng, maupun seni rupa.

Namun sayangnya kisah Panji mulai dilupakan orang seiring dengan perkembangan zaman. Perpustakaan Nasional bersama dengan Malaysia, Kamboja, British Library, dan Leiden Universitet telah mendaftarkan naskah Panji sebagai Ingatan Kolektif Dunia untuk kategori naskah kuno di UNESCO yang hasilnya akan diketahui Oktober 2017.

Untuk mendukung hal tersebut Festival Budaya Panji akan meliputi beberapa rangkaian kegiatan, yaitu Pertunjukan Kesenian Baya Panji, Seminar Budaya Panji dan pameran. Gelaran Budaya Panji ini dipertunjukkan pada malam pembukaan ASEAN Literary Festival pada 3 Agustus, selain itu juga ada kuliah umum dari Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid dan penulis dari Malaysia Faisal Tehrani.

Festival yang telah dilaksanakan sejak 2014 menjadikan budaya dan sastra sebagai unsur penting keberlangsungan ASEAN dan telah mendeklarasikan dirinya menjadi komunitas.Festival ini menjadi wadah untuk memperkenalkan pencapaian dan produk sastra penulis ASEAN ke tingkat global serta usaha dalam meningkatkan kecintaan akan buku dan membaca di kalangan anak muda. pur/R-1

Rayakan lewat Sastra

ALF kembali diadakan untuk keempat kalinya pada 3-6 Agustus 2017, setelah digelar selama tiga tahun berturut-turut sejak 2014.

Kompleks Kota Tua Jakarta menjadi tuan rumah festival sastra dan budaya tersebut. Kali ini menjadi sangat istimewa karena perhelatan tersebut sekaligus diadakan untuk merayakan 50 tahun berdirinya asosiasi bangsa-bangsa Asia Tenggara atau yang lebih dikenal dengan nama ASEAN.

Selain diikuti oleh penulis, intelektual, seniman dan akademisi dari 10 negara anggota ASEAN, festival tersebut juga akan diikuti oleh peserta dari lebih dari 20 negara di Asia, Eropa, Amerika, Afrika dan Australia.

Salah satu pendiri dan juga Direktur Program ASEAN Literary Festival, Okky Madasari mengatakan bahwa ALF, yang tahun ini mengambil tema Beyond Imagination, telah berperan selama tiga tahun ini menjadikan budaya dan sastra sebagai unsur penting keberlangsungan ASEAN, apalagi telah mendeklarasikan diri menjadi komunitas.

"Menjadi komunitas berarti mengenal budaya masing-masing, termasuk keakraban terhadap produk-produk sastra dan buku dari masing-masing negara anggota. Inilah peran penting ALF. Hanya budaya dan sastra yang dapat secara genuine mengikat kita. Bersandar hanya pada ekonomi dan politik cuma menjadikan slogan komunitas ASEAN sekedar retorika dan ilusi," sambung dia.

Perayaan 50 tahun ASEAN ini, bagi Okky, merupakan refleksi pencapaian pembentukan komunitas budaya dan sastra kawasan, serta apa yang menjadi tantangan 50 tahun ke depan.

"Lima puluh tahun ke depan adalah periode pembentukan komunitas budaya dan sastra kawasan. Budaya dan sastra menjadi konten penting dalam era digital dan media sosial sekarang ini," ujar dia.

Dia juga menekankan peran penting festival memperkenalkan pencapaian dan produk sastra penulis-penulis ASEAN ke tingkat global serta usaha-usaha festival dalam meningkatkan kecintaan akan buku dan membaca di kalangan anak muda dan anak-anak Indonesia dan kawasan di era media sosial sekarang ini.

Perayaan ALF 2017 kali ini didukung penuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Luar Negeri.

Tiap tahun, sebelum festival sebagai puncak perayaan digelar, ALF selalu mengadakan acara pra festival antara lain Sastra Masuk Kampung, residensi, dan satu tambahan program baru: Jambore Nasional Sastra.

ALF tahun ini menghadirkan belasan sesi diskusi sebagai bagian utama festival. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ALF selalu konsisten mengusung tema yang menjadi permasalahan penting masyarakat meskipun mendapatkan tantangan besar.

Tahun ini kebebasan berekspresi menjadi isu utama selain meningkatnya radikalisme dan terorisme serta peran media sosial yang semakin sentral dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat.

Selain acara-acara tersebut, ALF juga akan diramaikan oleh pertunjukan seni, demo kuliner, dan pameran buku. pur/R-1

Kupas Puisi

Dalam rangkaian acara ALF diskusi yang cukup menarik adalah mengupas puisi. Diskusi yang bertajuk Young Poets on Politics and Society, menghadirkan Aan Mansyur, Rosdah, Marius Hulpe dari Jerman, dan Hariz Fadhilah dari Brunei Darussalam. Diskusi tersebut membicarakan kritik sosial dan hal-hal politis yang berada di balik sebuah puisi dan bagaimana peran penyair di dalam masyarakat.

"Lewat puisi, kita dapat menggunakan bahasa non-politis untuk membicarakan hal-hal yang politis. Kita bisa menggunakan bahasa dan hal-hal lain untuk mendeskripsikan sesuatu. Ada hal-hal besar yang kerap dibicarakan dalam puisi, namun dengan puisi, hal kecil pun bisa menjadi sangat politis," ungkap Marius Hulpe.

Serupa dengan pernyataan Marius Hupe, Rosdah, penyair muda asal Yogyakarta sepakat bahwa puisi adalah jalan yang baik untuk bisa mengkritisi politik. "Misalnya ketika saya menulis tentang korupsi. Saya bisa mengganti subjeknya menjadi hal-hal yang berbau alam. Seperti relasi tumbuhan dengan binatang, misalnya," ujarnya.

Sedangkan Hafiz Fadhilah mengungkapkan, puisi memiliki bahasa yang intim yang bisa digunakan untuk mengutarakan suatu hal. "Di Brunei Darussalam, kesempatan untuk mengutarakan pendapat sangatlah terbatas. Indonesia lebih bisa menerima kritik. Saya baru berani untuk mempublikasikan tulisan saya setelah ikut residensi ke Indonesia," cerita Hafiz.

Yang menarik dari diskusi tersebut adalah topik yang diangkat Aan Mansyur. Penyair ini mengaku tidak pernah bermasalah jika ada yang menilainya sebagai penyair 'galau' karena menulis tema-tema cinta pada kebanyakan puisinya. "Apa yang sering kita sebut sebagai politis adalah yang sering disimpulkan sebagai politik negara atau politik praktis, padahal dalam puisi tidak selalu seperti itu bekerjanya," ujar Aan.

Baginya, puisi cinta juga bisa menjadi puisi yang politis dan gelisah. Ia mengambil puisi karyanya, Tidak Ada New York Hari Ini sebagai contohnya. "Mungkin banyak yang mengira ini hanya puisi cinta, galau. Tapi sebenarnya dari judulnya saja, ada relasi kuasa di dalamnya," pungkasnya. pur/R-1

Baca Juga: