Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan. Adanya krisis ekonomi yang terjadi pada masa pandemi berdampak pula pada sektor ketenagakerjaan.
Pemerintah berupaya menangani kondisi ini dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk mencegah dampak pandemi di sektor ketenagakerjaan semakin meluas.
Meski begitu, kebijakan pemerintah ini tidak selamanya disambut baik berbagai kalangan, terutama oleh pekerja. Misalnya, kebijakan tidak menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan pengesahan Undang-undang (UU) Cipta Kerja. Meski begitu, pemerintah juga memberikan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi para pekerja sebesar 600.000 rupiah per bulan selama empat bulan.
Untuk mengupas terkait perkembangan kebijakan di sektor ketenagakerjaan, Koran Jakarta mewawancari Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah. Berikut petikan wawancaranya.
Bisa Anda jelaskan upaya-upaya apa saja yang dilakukan pemerintah membantu para pekerja yang terdampak pandemi Covid-19?
Dampak pandemi Covid-19 ini luar biasa pada perekonomian nasional kita dan itu tentu saja dampaknya pada sektor ketenagakerjaan. Banyak teman-teman yang di-PHK atau dirumahkan dan banyak juga yang pendapatannya berkurang meski masih tetap bekerja.
Kita punya treatment melalui jaring pengaman sosial di sektor ketenagakerjaan. Misal program Kartu Prakerja untuk mereka yang di-PHK. Kemudian, mereka yang bekerja dengan gaji di bawah 5.000.000 rupiah dan berstatus sebagai peserta aktif Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan kita bantu dengan program BSU. BSU ini total bantuan yang diberikan 2.400.000 rupiah untuk empat bulan dan awal November ini termin kedua akan segera dicairkan.
Soal BSU ini, apakah tidak akan memengaruhi manfaat program BPJS Ketenagakerjaan?
BSU ini menggunakan uang pemerintah, bersumber dari APBN. Tidak bersumber dari uangnya pekerja di BPJS Ketenagakerjaan. Jadi, tidak mengurangi manfaat apa pun atau sama sekali tidak menggunakan uang pekerja yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
Pemerintah juga mengeluarkan surat edaran yang mengimbau agar tidak menaikkan UMP. Kenapa ini dilakukan?
Ini jalan tengah yang harus diambil pemerintah dalam kondisi sulit dan tidak mudah. Perlindungan pengupahan kita jaga, keberlangsungan usaha harus kita perhatikan. Atas dasar itu surat edaran kami keluarkan.
Di samping itu harus diingat, pemerintah tetap memperhatikan kemampuan daya beli para pekerja melalui BSU yang sudah saya sampaikan tadi. Bantalan sosial sudah disiapkan oleh pemerintah. Jadi, pemerintah tidak begitu saja menetapkan itu karena ada beberapa langkah yang sudah dilakukan pemerintah.
Setelah disahkannya UU Cipta Kerja, investasi mulai berdatangan. Apa harapan Anda dari investasi tersebut terutama terkait sektor ketenagakerjaan?
Harapan kita, beberapa investasi yang masuk bisa menyerap tenaga kerja, baik pekerja yang terdampak PHK atau memang tidak bekerja sebalum adanya pandemi Covid-19. Itu harapan kita, semoga semakin meluas setelah UU Cipta Kerja disahkan dengan DPR.
Terkait UU Cipta Kerja masih ada yang meragukan keberpihakan pemerintah terhadap pekerja. Bagaimana tanggapan Anda terlebih dengan adanya unjuk rasa dari pekerja?
Memang, unjuk rasa itu merupakan hak bagi para pekerja. Tapi, saya mengingatkan ke teman-teman semua bahwa pandemi belum usai dan vaksin masih diupayakan. Jadi, tidak bijak demo dalam kondisi seperti ini.
Jika alasannya menyalurkan aspirasi, ruang itu sudah terbuka. Kami sudah memulai pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai turunan dari UU Cipta Kerja. Di situ ruang bagi teman-teman serikat pekerja dan serikat buruh serta pengusaha untuk duduk kembali merumuskan RPP.
Di luar itu, hak melakukan judicial review sangat terbuka. Teman-teman jika belum terakomodasi melalui RPP masih ada pilihan untuk judicial review melalui peraturan pemerintah. Dalam situasi sulit seperti ini tidak ada pilihan bagi kita selain bersatu bersama-sama melawan Covid-19 ini. n m marup/P-4