JAKARTA - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan komoditas sorgum dan jagung bisa menjadi alternatif pangan untuk dapat menghadapi dan beradaptasi pada kenaikan suhu akibat perubahan iklim. Sorgum dan jagung dinilai lebih tahan terhadap suhu ekstrem serta lebih hemat air.

"Beberapa komoditas yang mungkin bisa menjadi alternatif adalah tanaman golongan serealia C4 yang lebih tahan terhadap suhu ekstrem dan lebih hemat air. Sebagai contoh tanaman serelia yang sudah umum dikenal yaitu sorgum dan jagung," kata Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN, Yudhistira Nugraha, di Jakarta, Jumat (20/10).

Seperti dikutip dari Antara, Yudhistira menyampaikan peralihan komoditas bisa menjadi suatu opsi untuk dapat beradaptasi akibat perubahan iklim, namun hal tersebut harus diikuti dengan perubahan kebiasaan makan yang bisa dilakukan sejak dini dimulai dari anak-anak.

Yudhistira mengatakan selain sorgum dan jagung, beberapa komoditas serelia lain yang belum terkenal juga dapat menjadi bahan pangan pengganti beras, seperti hanjeli (Coix lacrimo-jobi L) dan jewawut (Setaria italica).

Selain itu, Yudhistira menyampaikan upaya adaptasi yang dapat dilakukan lainnya, yakni dengan cara menyiapkan teknologi pertanian yang adaptif terhadap perubahan peningkatan suhu.

Upaya Mitigasi

Hal tersebut dapat dilakukan melalui perakitan varietas yang lebih tahan terhadap suhu ekstrem, budi daya yang lebih hemat air, serta melakukan upaya mitigasi melalui pengurangan gas rumah kaca (GRK) di sektor pertanian dengan menerapkan irigasi berselang, dan penggunaan pupuk secara berimbang.

Adapun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memproyeksikan suhu rata-rata Indonesia pada tahun 2100 akan naik sebesar 4 derajat Celsius.

Untuk menghadapi masalah ini, pakar pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Totok Agung Dwi Haryanto, menyarankan semua pihak untuk bersama-sama mengantisipasi ancaman krisis pangan akibat dampak perubahan iklim.

"Isu global sampai 100 tahun ke depan, masalah pangan masih menjadi yang nomor satu, termasuk di dalamnya adalah air. Yang kedua itu isu mengenai energi," kata Totok.

Oleh karena itu, kata dia, pembahasan mengenai pangan selalu sangat strategis untuk dijadikan isu kajian setiap bangsa yang ada di dunia dalam rangka menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan suatu bangsa.

Terkait kondisi pangan saat ini dengan adanya ancaman musim kemarau yang panjang akibat fenomena El Nino, Totok mengatakan risiko kegagalan panen karena kekeringan semakin meningkat.

"Maka, setiap negara harus memiliki mitigasi krisis pangan yang tangguh dan berkelanjutan semakin penting," ungkap Guru Besar Fakultas Pertanian Unsoed itu.

Totok mengatakan beberapa negara sudah melakukan usaha, di antaranya dengan membatasi atau bahkan menghentikan ekspor komoditas pangan.

Menurut Totok, hal itu menjadi ancaman serius bagi negara-negara yang selama ini dalam menyelesaikan persoalan pangan tersebut dengan mencari solusi melalui impor pangan, termasuk Indonesia.

Baca Juga: