Tahun ini Bougainville memulai transisi menuju kemerdekaan penuh pada 2027. Pulau yang disatukan dengan Papua New Guinea ini pernah dikuasai Jerman dan dipisahkan dari Kepulauan Solomon di bawah Inggris.

Tahun ini Bougainville memulai transisi menuju kemerdekaan penuh pada 2027. Pulau yang disatukan dengan Papua New Guinea ini pernah dikuasai Jerman dan dipisahkan dari Kepulauan Solomon di bawah Inggris.

Pemerintah Papua New Guinea dan pemerintahan otonom Bougainville telah bersepakat untuk mengadakan sebuah referendum kemerdekaan pada tanggal 15 Juni 2019 di Bougainville. Penentuan nasib ini merupakan hasil kesepakatan di tahun 2001 antara pemerintah Papua New Guinea (PNG) dan pemerintahan otonom Bougainville yang mengakhiri perang saudara dari 1988 hingga 1998.

Hasil pemilihan bersifat tidak mengikat dan pemerintah PNG menentukan putusan akhir yang akan mengikat pada Bougainville. Sebagian pengamat mengatakan bahwa hasil yang jelas membuat PHG sulit mengabaikan atau menolak hasil referendum, namun perlu beberapa tahun agar kemerdekaan dapat tercapai.

Pada Juli 2021, sebuah kesepakatan telah dicapai antara pemerintah PNG dan Bougainville. Isi dari musyawarah yang dilakukan adalah Bougainville akan mendapatkan kemerdekaan pada 2027. Proses kemerdekaan dimulai pada 2023 saat ini hingga tahun tersebut.

Bougenville adalah sebuah wilayah kepulauan dengan luas daratan mencapai 9.318 kilometer persegi dengan pulau utama bernama Bougenville. Jumlah pendudukan yang menurut sensus 2000 mencapai 175.160 jiwa, memilih melepaskan diri dari PNG karena memang memiliki sejarahnya sendiri.

Orang Eropa pertama yang melihat Bougainville saat ini adalah penjelajah Belanda, Willem Schouten dan Jacob Le Maire, yang melihat sekilas Atol Takuu dan Pulau Nissan pada 1616. Lalu perwira Angkatan Laut Inggris Philip Carteret mengunjungi Pulau Buka pada 1767 dan juga mengunjungi Kepulauan Carteret yang dinamai sesuai nama dirinya.

Pada 1768, penjelajah asal Prancis, Laksamana Louis Antoine de Bougainville berlayar di sepanjang pantai timur pulau itu. Dari kedatangan ini kemudian memberi nama pulau itu Bougainville, sesuai dengan namanya.

Jerman sebagai kolonialis baru datang ke wilayah itu. Melalui perusahaan New Guinea, Jerman menguasai beberapa pulau seperti Kepulauan New Guinea, Britannia Baru, Irlandia Baru, dan seluruh Kepulauan Solomon kemudian mencaplok Bougainville

Berdasarkan persetujuan 1899 antara Jerman dan Inggris Raya, Bougainville dipisahkan dari Kepulauan Solomon lainnya dan tetap berada di bawah kendali Jerman. Sementara itu Kepulauan Solomon menjadi milik Inggris Raya. Namun warga Bougainville keberatan dengan pemisahan itu.

Pada awal Perang Dunia I pada 1914, Bougainville diduduki oleh Australia setelah kekalahan Jerman. Selanjutnya secara kolektif disebut New Guinea, menjadi wilayah Mandat Liga Bangsa-Bangsa dan pada 1920 ditempatkan di bawah pemerintahan Australia.

Selama Perang Dunia II, Bougainville menjadi tempat terjadinya pertempuran sengit. Jepang menduduki pulau tersebut pada awal 1942. Pasukan Amerika Serikat (AS)) lalu mengambil alih Pulau Bougainville pada Maret 1944. Setelah perang, Bougainville kembali berada di bawah pemerintahan Australia, dan kali ini sebagai wilayah perwalian PBB.

Referendum

Pada 1968 pemilu diadakan di seluruh PNG. Bougainville menyerukan referendum pemisahan diri, namun pemerintah PNG tidak memenuhi permintaan ini. Pemerintahan sendiri diberikan kepada PNG pada Desember 1973 dan kemerdekaan penuh dari Australia pada September 1975.

Pada 1 Desember 1975, dua pekan sebelum PNG memperoleh kemerdekaannya, Bougainville secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaannya dengan menekankan keinginannya untuk tetap terpisah dari negara baru PNG. Bougainville mengajukan banding ke PBB, namun tidak membuahkan hasil.

Setahun kemudian, perundingan dengan pemerintah PNG menghasilkan kesepakatan otonomi terbatas sebagai provinsi PNG. Bougainville akan memiliki pemerintahan provinsi sendiri. Banyak orang mengeluh bahwa rakyat tidak memilih secara demokratis warga Bougainville dalam delegasi yang menandatangani perjanjian 1976.

Pada 1988, ketegangan meningkat menjadi kekerasan, karena semakin jelas bahwa keuntungan pertambangan dari usaha patungan Australia di pulau tersebut tidak memberikan manfaat bagi masyarakat Bougainville dan bahwa aktivitas penambangan tersebut sangat merusak lingkungan di pulau tersebut.

Pada itu, sekelompok pemilik tanah tradisional yang terorganisir, yang kemudian dikenal sebagai Tentara Revolusioner Bougainville (BRA) menutup paksa tambang dan menuntut negosiasi ulang kontrak. PNG menanggapinya dengan mengirimkan pasukan anti huru-hara dan kemudian tentara, sehingga menyebabkan sekitar 24.000 warga desa mengungsi.

Perjuangan untuk menutup tambang meningkat menjadi perjuangan untuk menentukan nasib sendiri dan menguasai tanah oleh masyarakat adat ketika penduduk Bougainville secara besar-besaran menentang PNG. Karena kalah, tentara PNG meninggalkan Bougainville dan memberlakukan blokade terhadap pulau tersebut pada April 1990.

Pada Januari 2001, Bougainville dan PNG mencapai kesepakatan yang akan memberikan Bougainville referendum kemerdekaan. Perjanjian perdamaian tersebut berisi batas waktu referendum yang harus diadakan antara 10 dan 15 tahun sejak terpilihnya pemerintahan otonom pertama Bougainville, yang akan diadakan dalam 12 bulan ke depan. hay/I-1

Baca Juga: