BNPB menawarkan solusi membangun rumah tahan dari bencana gempa bumi bagi keluarga berpenghasilan rendah sebagai upaya antisipasi kerawanan gempa di Tanah Air.
BNPB menawarkan solusi membangun rumah tahan dari bencana gempa bumi bagi keluarga berpenghasilan rendah sebagai upaya antisipasi kerawanan gempa di Tanah Air.
JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menawarkan solusi untuk membantu keluarga Indonesia yang berpenghasilan rendah memiliki rumah tahan dari bencana gempa bumi.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam siaran daring yang diikuti dari Jakarta, mengatakan Indonesia salah satu negara rawan gempa bumi karena unsur geografi wilayahnya yang kompleks sehingga sangat membutuhkan konstruksi bangunan yang tangguh.
Namun, menurut dia, untuk memenuhi spesifikasi rumah tahan gempa sering kali diperlukan konsultasi dengan ahli konstruksi, yang meningkatkan biaya jauh di atas kemampuan masyarakat di daerah sub-urban. Mereka biasanya mengeluarkan biaya pembangunan rumah tidak melebihi 50 juta rupiah.
"Jadi dapat disimpulkan ada dua syarat utama untuk pembangunan rumah tahan gempa yakni pertama harus murah, dan kedua harus dapat dilakukan oleh masyarakat umum tanpa keterlibatan ahli konstruksi," kata dia, kemarin.
Dia memaparkan, dalam hal ini salah satu solusi sederhana yang diusulkan BNPB kepada pihak terkait di tingkat pusat dan daerah ataupun masyarakat yaitu dengan cara menambahkan kawat anyaman galvanis (biasa untuk kandang ayam) sebagai pelapis dinding rumah.
BNPB mengkonfirmasi metode konstruksi tersebut sudah diuji di Jepang dan terbukti efektif untuk rumah sederhana tipe 3x6 meter. Biaya bahan baku terjangkau dengan standar harga di dalam negeri diperkirakan hanya sekitar 1,5 juta hingga 2 juta rupiah per rumah.
Abdul mengungkapkan metode itu cukup realistis digunakan di Indonesia yang jumlah penduduk berpenghasilan rendah dan sangat miskin sebanyak 26,5 juta jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021.
Dari jumlah tersebut diasumsikan satu keluarga terdiri dari lima orang berarti, kata dia, ada sekitar lima juta keluarga yang membutuhkan rumah tahan gempa. BNPB memandang dibutuhkan biaya maksimal 5 juta rupiah per keluarga dengan metode tersebut dan hal ini salah satunya dapat diakomodasi melalui pemanfaatan dana desa.
"Indonesia ada 50 ribu desa rawan gempa. Jika setiap dana desa disisihkan 50 juta rupiah per tahun untuk itu. Maka dalam satu tahun dapat dibangun rumah untuk 500 ribu keluarga, dan dalam 10 tahun ada sebanyak lima juta keluarga bisa mendapatkan rumah tahan gempa," kata dia.
Korban Jiwa
Pihaknya menganggap solusi tersebut sangat krusial karena setiap kali gempa terjadi, kerusakan rumah akan selalu berbanding lurus dengan banyaknya korban jiwa. Hal ini dapat dibuktikan setidaknya melalui data BNPB tiga tahun terakhir.
BNPB mencatat pada tahun 2021 terdapat 37.422 rumah rusak dengan 122 korban jiwa. Selanjutnya tahun 2022, jumlah rumah rusak meningkat menjadi 68.644 dengan 638 korban jiwa, sementara pada 2023, tercatat 4.704 rumah rusak dengan 6 korban jiwa.
Abdul menekankan bahwa melalui pendekatan preventif dalam pembangunan rumah tahan gempa seperti ini tidak hanya akan mengurangi jumlah korban di masa mendatang, tetapi juga menghemat anggaran rehabilitasi - rekonstruksi, yang selama ini dikeluarkan pemerintah pusat melalui BNPB mencapai 15-60 juta rupiah per rumah yang rusak akibat bencana.
Sementara itu, Menteri Sosial (Mensos), Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, memastikan penanganan gempa di Kabupaten Bandung Barat tetap berlanjut. Usai masa tanggap darurat 14, tahapan selanjutnya yaitu masa rehabilitasi atau pemulihan.
"Yang jelas tidak akan ditinggal setelah 14 hari (masa tanggap darurat). Nanti ada masa rehabilitasi atau masa pemulihan akan diteruskan," ujar Gus Ipul, usai mengunjungi korban Gempa Kabupaten Bandung Barat, Kamis (26/9). ruf/Ant/S-2