NUSA DUA - Kesenjangan finansial untuk membiayai upaya mengatasi dampak climate change atau perubahan iklim akan mampu diatasi dengan skema blended finance atau pembiayaan campuran.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves), Luhut Binsar Pandjaitan, di Nusa Dua, Bali, Minggu (13/11), mengatakan blended finance global tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga semua sektor swasta.

Blended finance merupakan skema pembiayaan optimal dengan mengombinasikan beberapa sumber pendanaan atau pembiayaan dalam satu proyek seperti dari anggaran pemerintah, pihak swasta, dan donor.

Dunia termasuk indonesia, kata Luhut, masih menghadapi kesenjangan finansial yang besar, tepatnya pada pembiayaan iklim meski negara-negara maju telah berkomitmen untuk memobilisasi 100 miliar dollar AS per tahun pada 2020.

Komitmen negara maju untuk memobilisasi pendanaan sebesar 100 miliar dollar AS per tahun itu, karena mereka berkontribusi sangat besar terhadap climate change. Luhut mengatakan penyumbang emisi karbon terbesar mayoritas berasal dari negara maju yaitu mencapai 14,7 ton per kapita yang melebihi ambang batas sebesar 4,5 ton per kapita.

Negara-negara anggota G20, paparnya, merupakan negara-negara penguasa 85 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia sekaligus menyumbang hingga 80 persen emisi karbon global.

Indonesia sendiri, tambah Luhut, sangat berkomitmen terhadap penanganan perubahan iklim dengan memensiunkan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara untuk bertransisi ke energi terbarukan (EBT). "Indonesia saat ini sedang menyelesaikan negosiasi kerja sama dengan kelompok mitra internasional yang dipimpin oleh AS dan Jepang untuk program kemitraan transisi energi," jelas Luhut.

Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, menyatakan blended finance akan mampu menutupi kesenjangan pembiayaan program tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals secara global yang diperkirakan akan naik 70 persen.

Teknologi Andalan

Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi, Dwi Sawung, mengatakan dari beberapa teknologi untuk mengurangi polusi udara, Selective Catalytic Reduction (SCR) sejauh ini menjadi teknologi yang paling bisa diandalkan untuk mengurangi emisi dan polusi udara dari PLTU.

"SCR salah satu yang terkini, fungsinya untuk mengurangi nitrogen oksida (NOx)," ujarnya. Dengan SCR, NOx akan tereduksi. Misalnya dari angka 100 ke atas, bisa turun hingga 50 ke bawah. Dari angka-angka tersebut, SCR dinilai mampu menurunkan angka NOx yang terbilang besar. Negara maju, seperti Jerman, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang sudah lama menerapkan teknologi SCR.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengatakan penerapan teknologi SCR ataupun Carbon Caputure (CCUS), bagi banyak kalangan memang bukan dianggap sebagai green energy. Teknologi ini, lanjutnya, merupakan pengembangan dari teknologi dalam rangka mengurangi gas karbon.

Baca Juga: