BKKBN memprediksi jumlah penduduk lanjut usia pada 2035 akan semakin banyak. Untuk itu, BKKBN berupaya meningkatkan kualitas SDM dengan mencegah kawin muda.

BKKBN memprediksi jumlah penduduk lanjut usia pada 2035 akan semakin banyak. Untuk itu, BKKBN berupaya meningkatkan kualitas SDM dengan mencegah kawin muda.

JAKARTA - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo memprediksi di 2035 jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia akan semakin banyak.

"Sementara generasi berikutnya, terutama Gen-Z adalah generasi strawberry yang lebih kreatif tetapi lembek atau tidak kuat," katanya di Semarang, Jawa Tengah, pada Jumat (28/6).

Kondisi itu ditunjukkan oleh data BPS tahun 2023, yaitu sekitar 9,9 juta penduduk generasi usia 15-24 tahun di Indonesia tidak bekerja dan tidak sedang bersekolah. Angka ini setara dengan 22,25 persen dari total penduduk usia muda di Indonesia.

"Katakanlah lama sekolah 9,4 tahun rata- rata. Maka, bisa dipahami yang tidak lulus SD dan SMP lebih banyak dibanding yang lulus perguruan tinggi," kata Hasto.

Menindaklanjuti hal itu, kata Hasto, BKKBN berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Salah satunya dengan mengantisipasi tidak terjadinya kawin usia muda.

Untuk mewujudkan itu, BKKBN bekerja sama dengan mitranya juga melakukan kegiatan pemberdayaan ekonomi keluarga, seperti kegiatan pameran dan gelar dagang untuk memacu upaya peningkatan pendapatan keluarga melalui Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UPPKA).

"BKKBN membantu mewujudkan wirausaha, mendukung sekolah vokasi, kesempatan kerja untuk jadi lebih baik dan juga kegiatan kelompok Bina Keluarga Remaja," kata Hasto.

Pada bagian lain, dia juga meminta masyarakat lebih jeli melihat bonus demografi di Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.

Dia mengatakan bahwa hal itu penting untuk dilakukan menyusul penduduk IKN Indonesia yang baru itu mayoritas penduduk usia produktif. Menurut Hasto, peluang bonus demografi di IKN seolah terlihat positif.

"Tetapi yang perlu kita ingat, itu bisa menjadi semu karena banyaknya pendatang yang tiba-tiba datang ke sana di saat usia kerja," kata Hasto.

Menurut dia, dampak kedatangan warga usia produktif di IKN menjadikan penduduk yang bekerja lebih banyak dibanding penduduk tidak bekerja. "Sayangnya uang belum tentu beredar di IKN karena keluarga mereka berada di Jawa atau di luar IKN. Sehingga penghasilannya menjadi 'capital flight', ditransfer ke keluarga," kata dia.

Karena itu, Hasto menekankan pentingnya memperhatikan proporsi penduduk dan prospek bonus demografi di IKN.

"Input" Data EPPGBM

Sebelumnya, Hasto Wardoyo meminta pemerintah daerah segera memasukkan data pada sistem Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM), agar mencapai target 95 persen akhir Juni.

"Di waktu yang tersisa ini, saya minta pada gubernur, wali kota/bupati, dan segenap tim percepatan penurunan stunting, untuk gerakan intervensi serentak yang input EPPGBM-nya belum sampai 95 persen, mohon disegerakan mencapai minimal 95 persen, karena targetnya Menteri Kesehatan kan 100 persen, kami harapkan ini bisa tercapai," kata Hasto dalam webinar yang diikuti di Jakarta, Kamis.

Intervensi dimaksud adalah penimbangan dan pengukuran serentak di pos pelayanan terpadu (posyandu).

Hasto menjelaskan, intervensi penimbangan dan pengukuran serentak dilakukan karena berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, prevalensi stunting di Indonesia 21,5 persen, hanya turun 0,1 persen dari sebelumnya di tahun 2022 yakni 21,6 persen.

"Hasil SKI turunnya sangat sedikit, hanya 0,1 persen, untuk itu kami BKKBN bersama Wamenkes, kemudian Menko PMK, dan Kepala Staf Kepresidenan, menghadap ke Wakil Presiden untuk mohon arahan, waktu itu ada Penjabat Gubernur Banten yang presentasi, selisihnya jauh sekali antara hasil SKI dengan angka yang waktu itu dipresentasikan Gubernur Banten," katanya.

Ia mengemukakan, data berdasarkan nama dan alamat dari EPPGBM yang dipresentasikan gubernur Banten, stuntingnya sekitar 2.600, tetapi setelah dipetakan dengan SKI, prevalensinya masih 24 persen.

"Setelah dipetakan di SKI, malah naik, maka mestinya kalau 24 persen dipetakan dengan jumlah balita di Banten maka jumlahnya bisa lebih dari 100.000. Jadi antara 2.600 dengan 100.000 berbeda jauh," ucapnya.

Karena itu, ia menekankan agar pemerintah daerah segera melakukan input data agar EPPGBM bisa segera diverifikasi dan validasi.

"Kalau sudah di-input semua, ketika diverifikasi dan validasi, validitasnya cukup tinggi. Selain itu, pemerintah daerah juga bisa membuat salinan atau back up verifikasi dan validasi di daerah bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik -BPS- atau perguruan tinggi," katanya.

Menurutnya, melalui kerja sama dengan BPS dan perguruan tinggi, maka penghitungan sampel dapat lebih efektif, sehingga angka hasil verifikasi dan validasi bisa tepat. Ant/S-2

Baca Juga: