Kegiatan usaha tambang yang mengeruk langsung dari perut bumi sangat merugikan untuk jangka panjang.

JAKARTA - Pemerintah perlu mengurangi kebergantungan terhadap aktivitas industri ekstratif. Selain merugikan keseimbangan alam, ekspor komoditas yang merupakan buah dari bisnis ekstratif ini tidak cukup kuat menopang pertumbuhan ekonomi nasional lantaran sifatnya sangat rentan terkena gangguan pasar global.

Dosen Teologi Moral Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, Frumensius Gions OFM, mengaitkan masalah industri pertambangan ini dengan kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia.

Frumens menyebutkan salah satu makna dari kunjungan Paus ini adalah peduli terhadap lingkungan, yakni bagaimana manusia itu melihat lingkungan sebagai bagian yang integral dengan dirinya.

"Mencintai lingkungan itu bukanlah pilihan, tetapi sesuatu yang melekat dalam diri manusia. Karena itu, mestinya negara mengurangi atau menghentikan aktivitas industri ekstratif," tegas Frumen kepada Koran Jakarta, Rabu (4/9), ketika dimintai tanggapannya terkait makna kedatangan Paus ke Indonesia.

Makna itu, terang Romo Frumen, sesuai dengan ensiklik (surat edaran Paus) "Laudato Si", ensiklik Apostolik Paus Fransiskus yang membicarakan Ibu Bumi sebagai rumah bersama. "Jadi, Paus mau menekankan bahwa bumi ini ialah rumah bersama. Oleh karena itu, marilah kita merawatnya secara bersama-sama," ucapnya.

Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, mewanti-wanti pemerintah terkait harga komoditas unggulan, seperti harga CPO, mineral, dan batu bara yang anjlok. Menurutnya, hal ini menandakan segera berakhirnya windfall harga komoditas yang sudah kita nikmati semenjak pertengahan Juli 2021.

"Turunnya harga komoditas unggulan tersebut, berdampak terhadap penerimaan negara (pajak dan PNBP). Seperti tergambar dalam realisasi pendapatan negara semester I-2024 sebesar 1.320,73 triliun rupiah atau 47,1 persen terhadap APBN 2024. Kinerja penerimaan negara tersebut terkontraksi 6,2 persen dibandingkan dengan periode sama pada 2023," ungkapnya.

Anis menyebut imbas dari turunnya harga komoditas unggulan juga terasa pada sektor perpajakan. Penerimaanperpajakan semester I-2024 mencapai 1.028 triliun rupiah atau 44,5 persen terhadap APBN 2024. Kinerja perpajakan tersebut terkontraksi 7,0 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.

"Hal ini menunjukkan penerimaan negara masih sangat tergantung dari harga komoditas. Tentunya pemerintah sudah harus mengantisipasi, dengan menyusun exit strategy dari dampak moderasi komoditas. Sebab, penurunan harga komoditas sangat sensitif terhadap penerimaan negara. Kita berharap hingga akhir 2024, penerimaan negara bisa sesuai dengan target yang sudah ditetapkan dalam APBN 2024," jelasnya.

Rentan Bergejolak

Anggota Komisi XI DPR RI, Ecky Awal Mucharam, mengatakan sejak lama pemerintah memang tidak dapat lepas dari sumber penerimaan jangka pendek dan menjadi riskan ketika harga komoditas mulai turun.

"Sejak lama, penerimaan negara memang sangat bergantung dari ledakan komoditas. Sejarah mencatat bahwa tren peningkatan rasio pajak terjadi hanya jika Indonesia mengalami ledakan komoditas," ujar Ecky.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, merinci penerimaan pajak hingga Mei 2024 mencapai 760,4 triliun rupiah, lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 830,5 triliun rupiah. Artinya, sampai Mei 2024, realisasi target pajak baru mencapai 36,2 persen.

Bank Dunia sudah memprediksi adanya potensi penurunan indeks harga komoditas dunia pada 2024 menjadi 105,3 dan 2025 sebesar 101,6. Indeks tersebut jauh di bawah indeks harga pada 2022 yang bahkan mencapai 142,5 dan 2023 yang berada di angka 108.

Baca Juga: