JAKARTA - Pemerintah masih setengah hati mengembangkan bioteknologi bidang pertanian. Padahal, pemanfaatan teknologi pertanian tersebut dapat menggenjot produksi pangan nasional sehingga kebergantungan terhadap impor bisa ditekan.

Pakar Pertanian dari Universitas Lampung (Unila), Bustanul Arifin menyebutkan nilai impor beras selama pemerintahan Joko Widodo sangat besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sejak 2014 hingga September ini, nilai impor beras mencapai 2,84 juta ton senilai 16,2 trilliun rupiah.

Melihat besaran nilai impor tersebut, tidak mungkin hanya beras premium seperti yang diklaim Kementerian Pertanian (Kementan) selama ini. Kuat dugaan impor juga dilakukan untuk beras jenis lainnya, termasuk medium dan sebagainya.

Untuk itu, sambung Bustanul, pemerintah perlu sungguh-sungguh mengembangkan bioteknologi pertanian. "Saat ini sama sekali belum dimulai. Padahal, ini merupakan jurus ampuh mengatasi meningkatnya laju konversi lahan per tahun sebab bioteknologi pertanian tidak membutuhkan lahan yang terlalu luas tetapi menekankan pada kualitas tanaman," tegasnya dalam diskusi soal perkembangan Bioteknolgi Pertanian di Jakarta, Senin (11/9).

Bioteknologi merupakan upaya meningkatkan kualitas tanaman melalui aplikasi teknologi, seperti memodifikasi fungsi biologis suatu organisme dengan menambahkan gen dari organisme lain. Beberapa negara telah banyak mengembangkannya seperti Filiphina, Vietnam, Brasil, Argentina serta banyak negara lainnya, tetapi Indonesia belum kunjung berjalan.

Direktur Indonesian Biotecnology Information Centre (IndoBIC), Bambang Purwantara menambahkan ada banyak faktor mengapa bioteknologi pertanian di Indonesia tidak berkembang, salah satunya pada regulasi serta implementasi. Padahal, apabila kebijakan ini telah lama dikembangkan, pendapatan petani Indonesia akan meningkat. Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi saat ini yang mana pendapatan petani terus merosot tajam, tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk produksi.

Pendapatan petani terang Bambang akan meningkat seiring dengan meningkatnya produksi pangan. Dengan itu maka semakin banyak petani yang memilih untuk tetap bertahan menjadi petani, tidak berpindah ke profesi lain.

Bambang melanjutkan persoalan krusial yang melanda pertanian di Indonesia saat ini meliputi penurunan jumlah petani dan percepatan laju alih fungsi lahan. Karena itu, dia menyarankan perlunya upaya lain pada sektor pertanian yang lebif efektif dan efisien. Bila tidak, pemerintah tak akan mampu mengimbangi pertumbuhan populasi penduduk dengan pasokan pangan nasional.

Tekan Kemiskinan

Bambang melanjutkan, selama 20 tahun terakhir, bioteknologi mampu mengurangi dampak lingkungan secara siginifikan serta mendorong pertumbuhan ekonomi di 26 negara. Aplikasi ini membantu mengurangi kemiskinan di negara berkembang sebanyak 16,5 juta petani kecil.

Adapun di Indonesia, sekitar 65 persen penduduk miskinnya ada di desa dan dari jumlah itu, sekitar 60 persen adalah petani. "Ini harus diakhiri dengan pertanian inovatif," pungkasnya.ers/E-10

Baca Juga: