Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan aturan terkait Gerbang Pembayaran Nasional atau National Payment Gateway (NPG). Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/10/PADG/2017 tanggal 20 September 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional. Salah satu aspek yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah biaya isi ulang (top up) uang elektronik.

Dalam aturan BI tersebut dijelaskan bahwa biaya top up gratis alias tidak dikenakan biaya apabila dilakukan secara on us atau isi ulang melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu untuk nilai sampai 200.000 rupiah. Untuk nilai di atas 200.000 rupiah dikenakan biaya maksimal 750 rupiah.

Sementara itu, biaya top up melalui off us dikenakan biaya maksimal sebesar 1.500 rupiah. Mekanisme pengisian off us adalah isi ulang melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda atau mitra. Kebijakan ini berlaku efektif 1 bulan setelah PADG GPN tersebut diterbitkan.

Kebijakan BI itu menuai kritik dari berbagai kalangan. Kita perlu mengingatkan BI bahwa sistem nontunai dilakukan demi efisiensi dan keamanan bertransaksi. Namun, menjadi kontra-produktif jika BI justru mengeluarkan peraturan, konsumen dikenakan biaya top up. Secara filosofis langkah BI justru bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society tersebut.

Tanpa biaya tambahan, perbankan sudah diuntungkan melalui penerapan transaksi nontunai. Sebab, perbankan akan menerima uang di muka. Padahal transaksi atau pembelian belum dilakukan. Karena itu publik menilai tidak fair BI menerapkan biaya tambahan top up uang elektronik.

Dengan model e-money seharusnya konsumen layak mendapat insentif, bukan disinsentif. Pengenaan biaya top up hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank berbeda dengan uang elektronik yang digunakan, selebihnya harus ditolak.

Selain itu, perbankan tidak pantas menggali pendapatan dari biaya tambahan top up uang elektronik. Seharusnya, mereka mengambil untung dari modal uang yang diputar dari sistem pinjam meminjam. Jadi, bukan menggali dari uang recehan dengan mengenakan biaya top up.

Pengenaan biaya pengisian ulang uang elektronik itu juga berbenturan dengan program pemerintah yang mendorong gerakan nontunai. Di satu sisi pemerintah menyuruh masyarakat memakai e-money atau uang elektronik dan mendorong gerakan non tunai, di sisi lain justru dikenakan pungutan. Ini disinsentif bagi nasabah, khususnya pengguna jasa transportasi umum dan tol.

Dikhawatirkan masyarakat akan kembali menggunakan uang tunai dalam bertransaksi. Hal ini tentu menjadi kemunduran. Bank sebagai penyedia kartu uang elektronik, sebetulnya sudah mendapat untung, tanpa harus memungut biaya isi ulang. Misalnya, masyarakat membeli kartu perdana 50.000 rupiah dapat saldo 30.000 rupiah, harga kartu 20.000.

Uang hasil penjualan kartu sebenarnya tercatat sebagai fee based income bank. Harusnya dengan keuntungan itu tidak perlu lagi memungut biaya top up. BI mesti tahu, penggunaan uang elektronik salah satu cara mengurangi penggunaan uang tunai. Gagasan e-money yang semula diluncurkan untuk memudahkan masyarakat dalam bertransaksi seperti di TransJakarta, Commuter Line, tol, supermarket, dan sebagainya, justru memberatkan.

BI dinilai tidak memihak masyarakat. Sedang bank-bank hanya ingin menjadikan layanan uang elektronik sebagai cara meraup rupiah. Memungut biaya transaksi isi ulang tidak tepat karena membebani masyarakat. Sebaliknya masyarakat justru perlu diberi banyak insentif agar kesadaran bertransaksi secara nontunai makin meluas.

Insentif seperti pemberian diskon saat masyarakat melakukan top- up akan menjadi stimulan dan mampu meningkatkan kepercayaan publik dalam penggunaan kartu uang elektronik. Ini penting lantaran tingkat penggunaan kartu e-money masih rendah.

Baca Juga: