Pemerintah harus menjelaskan secara transparan mengapa biaya tes PCR di Indonesia begitu mahal? Jika labanya terlalu besar harus diturunkan. Bila perlu pemerintah menyubsidi 100 persen karena 3T (testing, tracing, treatment) adalah kunci pencegahan penularan Covid-19.
Pemerintah kembali melakukan pengetatan syarat perjalanan udara yang berlaku mulai 24 Januari 2021 guna mengantisipasi kembali melonjaknya penularan Covid-19. Untuk tujuan ke wilayah Jawa-Bali, penumpang wajib menunjukkan 2 dokumen, yaitu kartu vaksin (minimal vaksinasi dosis pertama) dan surat keterangan hasil negatif tes PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 2x24 jam.
Pengetatan juga berlaku untuk penerbangan antarbandara di luar Jawa-Bali dengan status PPKM Level 3 dan Level 4.
Pengetatan metode testing menjadi PCR saja di wilayah Jawa Bali dan Non Jawa Bali Level 3 dan 4 dilakukan mengingat sudah tidak diterapkannya penjarakan antar tempat duduk atau seat distancing sebagai bagian dari ujicoba pelonggaran mobilitas demi pemulihan ekonomi di tengah kondisi kasus yang cukup terkendali.
PCR sebagai metode testing yang paling valid dan lebih sensitif dibanding Rapid Tes Antigen dan Genose dalam menjaring kasus positif, diharapkan dapat mengisi celah penularan yang ada. Untuk mengoptimalisasi upaya pencegahan penularan, pihak maskapai diwajibkan menyiapkan 3 baris yang dikosongkan untuk pemisahan jika ditemukan pelaku perjalanan yang bergejala saat perjalanan.
Pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan baru ini pun angkat bicara. Bagaimana tidak, penerbangan dalam negeri yang rata-rata durasinya sekitar 2 jam, penumpang wajib menunjukkan hasil negatif tes PCR. Sedangkan perjalanan kereta yang jauh lebih lama, rute Jakarta-Surabaya misalnya yang lama perjalanannya paling cepat 8 jam, hanya wajib menunjukkan hasil negatif tes Antigen.
Penumpang jelas dirugikan dengan aturan ini. Biaya perjalanan jadi membengkak mengingat mahalnya biaya tes PCR. Untuk penerbangan jarak pendek yang durasi terbang sekitar satu jam, bisa-bisa biaya yang dikeluarkan untuk tes PCR lebih tinggi dibanding harga tiketnya.
Alasan pemerintah kembali mengetatkan syarat bepergian menggunakan transportasi udara guna mencegah kembali melonjaknya angka penularan Covid-19 bisa dimengerti, terlebih menjelang libur panjang Natal dan Tahun Baru. Namun mewajibkan tes PCR tanpa ada upaya menurunkan biaya tes rasanya juga kurang pas.
Memang biaya tes PCR sekarang sudah turun, maksimal 495 .000 rupiah dibanding masa-masa awal pandemi yang harganya paling murah 900 .000 rupiah. Namun tetap saja biaya tes PCR masih mahal dibanding India yang bisa di bawah 100 ribu rupiah. Jika di India bisa di bawah 100 ribu rupiah kenapa di Indonesia harganya 5 kali lipat.
Pemerintah harus menjelaskan secara transparan mengapa biaya tes PCR di Indonesia begitu mahal. Undang perusahaan penyelenggara tes PCR sekaligus juga importir yang mendatangkan alat-alat tes tersebut. Tanyakan kepada mereka dimana letak mahalnya? Negara lain bisa murah kenapa kita mahal? Kalau bisa turun. Pemerintah harus menekan mereka untuk mengurangi labanya. Kita semua tahu, perusahaan harus untung. Tetapi meraup untung sebesar-besarnya di tengah kesusahan rakyat, itu benar-benar jahat.
Jika memang tidak bisa, tidak ada salahnya pemerintah menyubsidi biaya tes PCR. Tidak rugi juga jika pemerintah mensubsidi 100 persen biaya tes PCR. Bukankah pemerintah sendiri yang selalu menggaungkan bahwa 3T (testing, tracing, dan treatment) adalah kunci dalam mencegah penularan virus Covid-19.