Demokrasi membutuhkan ongkos politik yang tinggi. Kondisi geografis, kepadatan penduduk, dan satuan belanja menjadi indikator tinggi biaya Pilkada serentak.

Jakarta - Pemerintah mengakui jika biaya untuk mengongkosi pesta demokrasi daerah atau pemilihan kepala daerah serentak pada 2018, masih mahal. Berdasarkan data Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang sudah diteken, total biaya pemilihan kepala daerah serentak pada 2018, mencapai 15,2 triliun.

"Biaya politik memang mahal," kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, di acara rapat kerja nasional persiapan Pilkada serentak 2018 di Jakarta, Senin (23/10). Menurut Tjahjo, secara prinsip, anggaran untuk membiayai Pilkada serentak tahun depan tercukupi. Adapun daerah yang telah meneken NPHD, baik dengan KPU, Bawaslu maupun dengan pihak aparat keamanan, memang belum semuanya. Tapi, mayoritas sudah meneken NPHD.

Rinciannya, 17 provinsi sudah menandatangani NPHD dengan KPU, dan ada 16 provinsi yang telah meneken NPHD dengan badan pengawas. Sementara yang telah menandatangani NPHD dengan pihak keamanan baru 2 provinsi. Yang belum masih ada 15 provinsi. "Sedangkan NPHD dengan KPU kabupaten dan kota, seluruhnya sudah diteken.

NPHD dengan pengawas kabupaten dan kota, dari 154 daerah yang akan menggelar Pilkada, baru 90 yang sudah meneken. Sebanyak 64 daerah belum. Dan, NPHD untuk pengamanan, baru 2 daerah yang sudah. Sisanya, 152 belum," tutur Tjahjo. Sementara total anggaran Pilkada serentak, menurutTjahjo, mencapai 15,2 triliun rupiah.

Rinciannya, anggaran untuk KPU mencapai 11,9 triliun rupiah. Sedangkan anggaran untuk Bawaslu, sebanyak 2,9 triliun rupiah. Sedangkan untuk biaya pengamanan, anggarannya mencapai 339,6 triliun rupiah. Total anggaran itu baru data sementara. Berdasarkan dari NPHD yang sudah ditandatangani. Di acara yang sama, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sumarsono, mengakui jika biaya Pilkada masih cukup mahal.

Bahkan menurut Sumarsono, jika NPHD sudah diteken semua, total anggaran Pilkada bisa tembus 20 triliunan. Mahalnya biaya Pilkada, kata dia, salah satu faktornya satuan belanja tidak lagi pakai standar APBD. Tapi memakai standar APBN. "Dulu kenapa murah karena satuan belanja pakai standar APBD. Misalnya dari kecamatan ke desa 12.500 rupiah. Sekarang tidak jadi satuannya meningkat. Sekarang pasti bisa perjalanan dinas bisa mencapai 12 ribu rupiah. Satuan APBD lebih kecil. Jadi efeknya bisa tembus 20 triliun rupiah. Ini sekarang masih di posisi 15,2 triliun rupiah," kata Sumarsono.

Geografis Sulit

Selain itu lanjut Sumarsono, untuk Pilkada tahun depan, bebannya agak berat, sebab mencakup provinsi besar, yang padat penduduk dan juga dari sisi geografis cukup sulit. Ia contohkan Papua. Banyak wilayah di Papua, hanya bisa dicapai via pesawat. Tentu ini berdampak pada membengkaknya anggaran. "Contoh Papua itu antar daerah itu harus gunakan pesawat. Itu biayanya di Papua 2,6 triliun rupiah. KPU 1,6 triliun rupiah. Ini biaya transpornya mahal.

Dulu Papua tidak ikut. Kalau ikut pasti ikut mahal. Selain itu di Jawa yang banyak populasi. Ini pasti membengkak anggarannya. Faktor geografis dan penduduk menjadi signifikan," tuturnya. Saat ditanya kenapa satuan belanja di ubah dari APBD ke APBN, menurut Sumarsono, karena Pilkada itu disepakati sebagai bagian dari rezim pemilu.

Maka anggaran di daerah, bentuknya hibah. Jadi ini konteksnya daerah membantu pusat. Maka pertanggungjawabannya, setelah disalurkan akan masuk APBN. Kalau masuk rezim Pemda tidak perlu NPHD. "Angka ini besar tapi belum bisa dikatakan lebih mahal atau murah. Misalnya kalau rakor per daerah sudah mahal. Kalau begini jadi satu. Anggaran Pilkada dulu, tahun 2015, anggarannya 6,7 triliun. ags/AR-3

Baca Juga: