Penurunan harga terusmenerus menjadi sinyal adanya tekanan permintaan domestik, yang perlu diatasi dengan kebijakan moneter yang lebih longgar.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dinilai terlalu berani menurunkan suku bunga acuan BI 7 days Reverse Repo Rate (BI7days RR Rate) mendahului Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve yang baru akan menggelar pertemuan pada 20-21 September 2024. Dalam pengumuman Rapat Dewan Gubernur BI pada Rabu (18/9), Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan memutuskan menurunkan suku bunga acuan 0,25 persen atau 25 basis poin (bps) dari 6,25 persen menjadi 6 persen.

Selain itu, otoritas moneter itu juga menurunkan suku bunga Fasilitas Deposit 0,25 persen menjadi 5,25 persen dan fasilitas suku bunga pinjaman juga turun 0,25 persen menjadi 6,75 persen. Menurut Perry, keputusan itu konsisten dengan rendahnya perkiraan inflasi pada 2024 dan 2025 dalam sasaran 2,5 plus minus 1 persen. Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Ryan Kiryanto, di Jakarta, Rabu (18/9), mengatakan keputusan BI itu berani, taktis dan antisipatif (preemptive) untuk menopang penguatan ekonomi di tengah indikasi melemahnya sendi-sendi perekonomian.

"Deflasi empat bulan berturut-turut, angka Purchasing Manager Indeks (PMI) yang berada di bawah ambang batas normal 50, yakni di 48-49 pada Juli dan Agustus, indeks kepercayaan pebisnis dan konsumen menurun dan angka pengangguran terus mendaki setiap bulannya," jelas Ryan. Dikatakan "berani dan taktis" karena keputusan itu mendahului the Fed yang akan memutuskan apakah menurunkan atau menahan suku bunga Fed (FFR) pada 20-21 September nanti. Dia mengakui the Fed ada peluang akan menurunkan FFR minimal 25 bps menjadi 5,00-5,25 persen atau maksimal 50 bps menjadi 4,75-5,00 persen.

Dengan penurunan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 6 persen dinilai tepat waktu dan tepat tujuan, diharapkan akan memberikan efek ke penyesuaian suku bunga perbankan yang pada gilirannya akan menaikkan permintaan kredit sehingga perekonomian kembali pulih dan membaik. Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky mengatakan, kondisi makroekonomi di AS sangat mendukung the Fed menyesuaikan kebijakan moneternya. Perlambatan inflasi AS saat ini dapat membuka peluang bank sentral memangkas suku bunga acuannya pada pekan ini. "Rilis data inflasi AS yang terkini membuka jalan untuk the Fed memangkas suku bunga acuannya secara bertahap mulai minggu ini," kata Teuku Riefky.

Aktivasi Perekonomian

Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomi (FBE) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan kebijakan BI menurunkan suku bunga jadi 6 persen adalah respons BI terhadap inflasi yg relatif rendah bahkan terjadi deflasi beberapa bulan dan nilai tukar rupiah juga cukup stabil. "Memang cukup berani dengan meyakini bahwa the Fed juga akan melakukan pemangkasan suku bunga. Tapi kalau kita lihat, penurunan suku bunga tersebut juga masih relatif terbatas, artinya aspek kehati-hatian masih dipertahankan," jelas Aloysius.

Menurut Aloysius, yang penting untuk dikerjakan segera adalah menciptakan iklim pendukung agar penurunan suku bunga tersebut benar-benar dapat mengaktivasi perekonomian nasional, baik dari sisi produsen, maupun konsumen yang daya belinya kini merosot. Selain itu, penting untuk menekan ketidakefisienan ekonomi di sektorsektor penting, terutama industri dan logistik. "Hal ini harus juga menjadi agenda pemerintahan mendatang yang tantangannya semakin besar.

Artinya, tanpa hal-hal pendukung tersebut, penurunan suku bunga tidaklah sekonyong- konyong akan memacu ekonomi nasional," kata Aloysius. Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan keputusan BI mendahului the Fed merupakan langkah yang jarang diambil. Sebagian besar bank sentral di dunia mengikuti jejak kebijakan moneter AS karena pengaruh global Fed Fund Rate (FFR) terhadap likuiditas dan arus modal internasional. Kebijakan BI itu juga respons atas tekanan pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Indikatornya penurunan daya beli masyarakat yang diiringi deflasi selama empat bulan berturut-turut.

"Penurunan harga secara terus-menerus ini menjadi sinyal adanya tekanan pada permintaan domestik, yang perlu diatasi dengan kebijakan moneter yang lebih longgar," kata Badiul. Begitu pula dengan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia yang mengalami kontraksi menandakan pelemahan sektor produksi. "PMI di bawah 50 menegaskan adanya penurunan aktivitas manufaktur, yang mencerminkan kondisi ekonomi secara umum sedang melambat," ungkap Badiul.

Penurunan suku bunga itu diharapkan dapat memberikan stimulus pada sektor riil dengan meningkatkan investasi dan mendorong konsumsi. Dampak lain yang perlu diantisiapsi sebagai efek dari kebijakan BI mendahului the Fed ini di antaranya adalah tantangan arus modal. Kalau the Fed mempertahankan atau bahkan menaikkan suku bunganya, perbedaan suku bunga antara Indonesia dan AS dapat memperlebar risiko arus keluar modal (capital outflow), yang dapat melemahkan nilai tukar rupiah dan mengganggu stabilitas makroekonomi.

Baca Juga: