» Inflasi yang terjadi dari sisi supply atau cost push inflation itu lebih sulit menyelesaikannya.

» Kenaikan harga komoditas seperti angin segar, namun tidak bisa terus bertumpu pada komoditas primer.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 akan bias ke bawah pada level titik tengah kisaran proyeksi mereka sebelumnya pada rentang 4,5 sampai 5,3 persen, yakni 4,9 persen. Kecenderungan pertumbuhan bias ke bawah itu karena mempertimbangkan faktor eksternal, terutama pelambatan ekonomi global yang dapat memengaruhi kinerja ekspor. Selain dari eksternal, inflasi yang cenderung meningkat bisa menahan konsumsi swasta.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam keterangan secara daring saat memaparkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juli 2022 dengan cakupan triwulanan di Jakarta, Kamis (21/7), mengatakan meskipun cenderung bias ke bawah, namun perbaikan perekonomian domestik masih akan terus berlanjut yang ditopang peningkatan mobilitas, sumber pembiayaan, dan aktivitas dunia usaha, meskipun dampak perlambatan ekonomi global perlu tetap diwaspadai.

Menurut Perry, perekonomian domestik pada triwulan II-2022 diproyeksikan terus melanjutkan perbaikan, yang ditopang oleh peningkatan konsumsi dan investasi non bangunan serta kinerja ekspor yang lebih tinggi dari proyeksi awal.

"Berbagai indikator dini pada Juni 2022 dan hasil survei BI terakhir, seperti keyakinan konsumen, penjualan eceran, dan Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur mengindikasikan terus berlangsungnya proses pemulihan ekonomi domestik," kata Perry.

Dari sisi eksternal, dia mengatakan kinerja ekspor lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya, khususnya pada komoditas batu bara, bijih logam, dan besi baja, yang didukung oleh permintaan ekspor yang tetap kuat dan harga komoditas global yang masih tinggi. "Pertumbuhan ekonomi juga ditopang oleh perbaikan berbagai lapangan usaha, seperti industri pengolahan, perdagangan, serta transportasi dan pergudangan," katanya.

Sementara itu, secara spasial, perbaikan ekonomi ditopang oleh seluruh wilayah terutama Jawa, Sumatera, dan Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua).

Lebih Pesimis

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, yang diminta pendapatnya sepakat dengan Gubernur BI, meskipun beberapa lembaga seperti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi lebih pesimis.

"Pertumbuhan ekonomi diprediksi sekitar 4,3 persen. Mengingat resesi global sebagai akibat dampak pandemi dan perang Russia Ukraina," kata Esther yang juga sebagai Direktur Program Indef.

Inflasi, jelasnya, tidak hanya melanda Indonesia, tetapi sudah merambah hampir semua negara. Masalahnya, inflasi yang terjadi dari sisi supply atau cost push inflation itu lebih sulit menyelesaikannya.

Inflasi dari supply, jelasnya, akan mendorong kondisi stagflasi atau pertumbuhan stagnan dan inflasi cenderung naik. "Oleh karena itu, dia berharap BI harus lebih berhati-hati untuk menjaga stabilitas moneter.

Dihubungi terpisah, Pengamat Ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini memang tidak mudah untuk sesuai dengan proyeksi.

Koreksi ke bawah cukup realistis, walaupun lembaga lain seperti Asian Development Bank masih memproyeksi ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen, tetapi juga mereka koreksi dari proyeksi sebelumnya 5,2 persen.

"Salah satu pertimbangannya yang penting adalah dari sisi ekspor, dengan adanya peningkatan harga komoditas andalan Indonesia, seperti batu bara, minyak sawit mentah (CPO), dan nikel," kata Aloysius.

Untuk jangka pendek, peningkatan harga komoditas itu tentu seperti angin segar, namun tidak bisa selalu mengandalkan komoditas-komoditas primer seperti itu.

Salah satu tantangan utama ekonomi pada saat ini adalah melonjaknya harga pangan dan energi, sehingga penerimaan ekspor sangat mungkin terkompensasi untuk menambal subsidi energi yang membengkak. "Kalau mau pertumbuhan terjaga semestinya penggunaan penerimaan dari ekspor tersebut harus mengarah ke aktivitas-aktivitas produktif, khususnya untuk menguatkan kembali industri manufaktur. Karena itu, efisiensi di sisi penyaluran subsidi dan produksi harus meningkat supaya tidak terus membebani keuangan negara," pungkas Aloysius.

Baca Juga: