BI seharusnya melihat masalah ini secara objektif dan berbagai regulasi yang dikeluarkannya juga harus menguntungkan masyarakat.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) perlu meninjau kembali kebijakan isi saldo atau top up uang elektronik. Langkah itu dimaksudkan agar masyarakat dapat dilindungi hak-haknya serta selaras dengan arahan pemerintah yang ingin menggalakkan kebijakan nontunai di tengah masyarakat. "Jangan bertindak seolaholah menjadi bank komersil yang mencari untung.

Sebab itu, BI mesti meninjau ulang kebijakan top up (isi ulang) tersebut," kata Anggota Komisi XI DPR, Heri Gunawan, Senin (18/9). Menurut dia, kebijakan tersebut tidak memiliki visi yang sama dengan konsep less cash society atau Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) seperti yang dicanangkan BI.

Politisi Partai Gerindra itu juga menilai tidak tepat bila pembangunan penyediaan infrastruktur terkait uang elektronik dijadikan alasan untuk menerapkan kebijakan pungutan tersebut. Untuk itu, ujar Heri, sudah seharusnya BI melihat masalah ini secara objektif dan berbagai regulasi yang dikeluarkan juga harus menguntungkan masyarakat.

Dia mengingatkan penggunaan uang elektronik saat ini sudah menyebar untuk sejumlah keperluan seperti jalan tol serta berbagai jenis transaksi. Selain itu, isi uang elektronik bila hilang masih menjadi tanggung jawab pemiliknya, tidak seperti kartu debit yang bila hilang maka uang yang disimpan di perbankan juga masih aman.

"Uang elektronik juga tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)," tegasnya. Sebelumnya, BI segera merilis aturan pengenaan biaya top-up uang elektronik dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI). Akhir bulan ini, aturan tersebut diperkirakan telah rampung disusun. Belum selesai disusun, kebijakan BI tersebut telah menuai kritik sejumlah pihak.

Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Senin (18/9), menuding GNNT yang digagas oleh BI dan lembaga keuangan hanya menguntungkan bisnis perbankan dan cenderung mengabaikan hak konsumen.

Untungkan Perbankan

Presiden ASPEK Indonesia, Mirah Sumirat, menyatakan gerakan nasional pembayaran nontunai tersebut mengakibatkan dana masyarakat berpotensi mengendap hingga triliunan rupiah dalam sistem keuangan, khususnya di perbankan. "Sosialisasi GNNT berimbas pada pemberlakuan di Gerbang Tol Otomatis (GTO) yang akan dipaksakan oleh Bank Indonesia dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk pada Oktober 2017," kata Mirah.

Menurut dia, saat masyarakat menggunakan alat pembayaran tarif jalan tol elektronik (e-toll), maka kerugian pertama adalah dari potongan uang kartu sebesar 10-20 ribu rupiah karena pengguna jalan sudah dipaksa setor ke bank atas nama biaya kartu. Kedua, jelasnya, pengguna jalan terpaksa harus mengendapkan dananya di dalam kartu pembayaran, meski tidak setiap menggunakan ruas tol. Jika diakumulasi, ada triliunan rupiah dana mengendap milik para pengguna jalan.

"Kerugian ketiga, potensi triliunan rupiah yang akan digarap bank dari selisih saldo minimal dengan tarif tol terendah," katanya. Sedangkan tarif terendah adalah 10 ribu rupiah, jika saldo pemegang kartu kurang dari jumlah minimal tersebut, dipastikan dana tersebut tidak akan bisa dimanfaatkan pemilik kartu, tetapi menjadi milik bank.

Terakhir, katanya, masyarakat dibebani biaya administrasi setiap isi ulang saldo e-toll dengan dalih bank ingin belanja mesin nontunai. Dia khawatir, gerakan tersebut makin meluas hingga ke transaksi kebutuhan dasar masyarakat seperti pembelian bahan bakar minyak (BBM).

Menanggapi tudingan tersebut, Direktur Bank BRI, Sis Apik Wijayanto, mengatakan bank tidak akan memberatkan nasabah atas rencana pengenaan biaya terhadap isi ulang atau top up uang elektronik. Sebab, jika Bank Indonesia (BI) memberlakukan aturannya, maka akan diambil batas paling bawah.

"Walaupun kena fee, kami juga tidak akan memberatkan nasabah atau pengguna yang melakukan isi ulang," katanya. Industri, jelas Sis, mengusulkan biaya 1.500-2.000 rupiah per transaksi, namun masih perlu dikaji lebih lanjut.

bud/Ant/E-10

Baca Juga: