Jika BI tak segera menaikkan suku bunga acuan, modal asing akan keluar sehingga makin menekan nilai tukar rupiah yang telah melemah dalam beberapa waktu belakangan ini.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dinilai perlu segera menaikkan suku bunga acuan guna menjaga stabilitas keuangan di dalam negeri. Hal itu menyusul keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) kembali menaikkan suku bunga acuan secara agresif pekan ini.

Kenaikan suku bunga The Fed FFR) yang begitu tinggi dapat membuat selisih yield surat berharga negara (SBN) menyempit. Kondisi tersebut berpotensi mendorong keluarnya modal asing atau capital outflow.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core), Piter Abdullah, memperingatkan jika BI tak segera menaikkan suku bunga acuan, modal asing akan keluar meskipun tak besar, mengingat porsi modal asing di dalam negeri memang sudah turun.

"Tetapi, keluarnya modal asing dan tidak adanya aliran modal asing yang masuk, jelas akan menekan nilai tukar rupiah. Rupiah bisa melemah. Indeks harga saham pasti akan terkoreksi, harga SUN akan turun, pembiayaan fiskal akan sulit. Jadi, saya kira BI harus segera melakukan penyesuaian suku bunga acuan atau menaikkan BI7DRR (BI-7 Day Reverse Repo Rate, red) setidaknya 25 bps atau bahkan 50 bps," tegas Piter di Jakarta, Kamis (16/6).

Seperti diketahui, The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) menjadi di kisaran 1,5-1,75 persen dalam rapat dewan keijakan (FOMC) pekan ini. Kenaikan tersebut mempertimbangkan kondisi di pasar tenaga kerja AS yang masih ketat serta inflasi AS yang juga masih cenderung tinggi. Sebanyak 10 anggota komite memilih keputusan itu, sedangkan satu orang menentangnya.

"Inflasi tetap tinggi, mencerminkan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan terkait pandemi, harga energi yang lebih tinggi, dan tekanan harga yang lebih luas. The Fed sangat memperhatikan risiko inflasi," demikian ungkap The Fed pernyataan resmi setelah pertemuan kebijakan dua hari hingga Rabu (15/6) waktu Washington DC.

Data ekonomi terbaru di AS menunjukkan tingkat pengangguran di negara tersebut saat ini mencapai 3,6 persen atau hampir menyentuh ekspektasi The Fed sebesar 3,7 persen. Selain itu, inflasi AS pada Mei lalu mencapai 8,6 persen. Ini sekaligus menandai inflasi bulan ketiga berturut-turut di atas 8,0 persen.

Era Pengetatan

Tak berselang lama The Fed menaikkan FFR, sejumlah bank sentral lainnya mulai mengikuti langkah serupa dengan alasan untuk mengendurkan tekanan inflasi. Bank sentral Swiss atau Swiss National Bank (SNB) menaikkan suku bunga utamanya untuk pertama kalinya dalam 15 tahun terakhir secara mengejutkan, Kamis (16/6), menjadi -0,25 persen dari level -0,75 persen.

Gubernur SNB, Thomas Jordan mengatakan situasi inflasi di Swiss pada Mei lalu tertinggi dalam hampir 14 tahun. "Perkiraan inflasi baru menunjukkan bahwa kenaikan lebih lanjut dalam suku bunga mungkin diperlukan di masa mendatang," katanya dalam konferensi pers.

Bank sentral Inggris (BoE) tampaknya akan menaikkan suku bunga lagi pada Kamis waktu setempat karena mencoba untuk mengatasi tingkat inflasi di jalur untuk dua digit. Bank Sentral Eropa (ECB) mengisyaratkan pekan lalu akan menaikkan suku bunga pada Juli untuk mengendalikan inflasi zona euro yang mencapai 8,1 persen bulan lalu.

Sementara itu, Bank sentral Brasil, Rabu (15/6) waktu setempat menaikkan suku bunga sebesar 50 bps menjadi 13,25 persen. Ini menjadi level tertinggi sejak awal 2017.

Baca Juga: