Adanya kecenderungan kenaikan suku bunga acuan the Fed ke depan bisa memicu terjadinya capital flight jika Bank Indonesia (BI) tak menaikkan suku bunga acuannya.

JAKARTA - Kebijakan moneter ke depan, terutama di Amerika Serikat (AS), masih ketat ditandai dengan adanya kecenderungan kenaikan suku bunga acuan ke depan. Sebab, tren inflasi tinggi masih berlangsung akibat dampak gejolak rantai suplai.

Karena itu, Indonesia perlu mengimbangi pengetatan tersebut untuk menekan pelarian modal asing di dalam negeri alias capital outflow. Kondisi tersebut berpotensi menekan kinerja rupiah.

Pengamat ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, memperingatkan adanya kecenderungan kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral AS (the Fed) ke depan bisa memicu terjadinya capital flight jika Bank Indonesia (BI) tak menaikkan suku bunga acuannya.

"Apabila hal ini dibiarkan, nilai tukar dollar AS terhadap rupiah bisa terdepresiasi," tegasnya kepada Koran Jakarta, Selasa (8/8).

Dia menerangkan dampak kenaikan harga juga mungkin terjadi di beberapa komoditas tertentu seperti harga energi. Namun, kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate dapat menjaga modal asing tetap di Indonesia dan tidak terbang ke luar negeri.

"Merespons perkembangan moneter global saat ini ada tiga cara. Pertama, naikkan suku bunga mengikuti the Fed, kedua, ciptakan iklim bisnis/ investasi yang kondusif. Ketiga, ada jaminan kepastian hukum, regulasi tidak berubah ubah," jelasnya.

Sementara itu, anggota Dewan Gubernur the Fed, Michelle Bowman, kembali memberikan sinyalemen hawkish ke depan. Bowman menyatakan kenaikan suku bunga tambahan kemungkinan akan diperlukan untuk menurunkan inflasi ke target bank sentral sebesar dua persen. Inflasi AS pada Mei 2023 tercatat sebesar 4,0 persen, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 4,9 persen.

"Kami telah membuat kemajuan dalam menurunkan inflasi selama setahun terakhir, namun inflasi masih jauh di atas target 2,0 persen," kata Bowman di sebuah acara di Atlanta, Senin (7/8) waktu AS, mengacu pada Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC).

Bowman menyoroti pasar tenaga kerja yang masih ketat, dengan lowongan kerja yang masih jauh melebihi jumlah tenaga kerja yang tersedia. Mengingat perkembangan ini, pejabat Fed mengatakan bahwa dia telah mendukung kenaikan suku dana federal atau Fed Fund Rate (FFR) pada pertemuan Juli lalu.

Level Tertinggi

Bulan lalu, the Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar seperempat persentase poin menjadi ke kisaran 5,25 persen hingga 5,5 persen, level tertinggi dalam 22 tahun.

"Saya akan mencari bukti bahwa inflasi berada pada jalur penurunan yang konsisten dan bermakna karena saya mempertimbangkan apakah kenaikan lebih lanjut dalam suku bunga dana federal akan diperlukan, dan berapa lama suku bunga dana federal perlu tetap pada tingkat yang cukup ketat," kata dia.

Bowman, salah satu anggota komite penetapan suku bunga Fed yang lebih hawkish, membuat komentar serupa dalam pidatonya pada 5 Agustus lalu di Colorado. Dia menegaskan kenaikan suku bunga lebih lanjut kemungkinan akan dibutuhkan guna membawa inflasi turun ke target the Fed di level dua persen.

Namun, banyak investor dan beberapa ekonom optimistis the Fed bakal menurunkan suku bunga acuan pada awal tahun depan. Ekonom Goldman Sachs mengatakan mereka terus mengantisipasi the Fed akan memutuskan bahwa kenaikan akhir tidak diperlukan karena inflasi turun.

"Kami memperkirakan penurunan inflasi inti lebih besar daripada ketahanan pertengahan tahun dalam data pertumbuhan dan upah," tulis ekonom Goldman Sachs dalam catatan riset, Jumat pekan lalu.

Baca Juga: