Operasi moneter BI yang cenderung moderat diperkirakan tak akan berdampak positif bagi perekonomian, terutama rupiah yang terus terdepresiasi.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memperkirakan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) bakal melanjutkan normalisasi kebijakan moneter melaku instrumen kenaikan suku bunga acuan ke depan. Sikap hawkish the Fed tersebut seharusnya diimbangi sikap lebih agresif dari BI guna menekan aliran modal asing keluar atau capital outflow yang bisa makin menekan rupiah.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, memproyeksikan suku bunga AS atau Federal Funds Rate (FFR) masih berpotensi naik mencapai 5,75 persen pada September 2023. "Fed Funds Rate baseline kami September nanti akan naik sekali lagi, kami pantau pertumbuhan ekonomi di AS lebih bagus, kami masih menunggu inflasinya nanti turun lebih cepat atau tidak, sehingga pada saat ini kami masih memperkirakan Fed Funds Rate akan naik sekali lagi," kata Perry dalam paparan hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Selasa (1/8).

Perry menjelaskan perkembangan tersebut menyebabkan aliran modal ke negara berkembang akan lebih selektif dan meningkatkan tekanan nilai tukar di negara berkembang termasuk Indonesia.

Saat ini, pihaknya tengah memantau pergerakan inflasi dari AS, dengan tetap mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 5,75 persen pada bulan ini. Keputusan yang diambil BI dilakukan untuk tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah gejolak perekonomian yang tidak menentu, terutama dari keputusan bank sentral AS atau Federal Reserves (the Fed).

Federal Reserve atau the Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poins (bps) pada 26 Juli lalu. Gubernur the Fed, Jerome Powell, menyampaikan ekonomi masih perlu melambat dan pasar tenaga kerja melemah agar inflasi secara kredibel kembali ke target 2,0 persen bank sentral AS.

Kenaikan tersebut merupakan yang ke-11 dari the Fed dalam 12 pertemuan terakhirnya, menetapkan suku bunga acuan overnight di kisaran 5,25 persen-5,50 persen, tingkat yang terakhir terlihat sesaat sebelum jatuhnya pasar perumahan pada 2007 dan yang belum pernah dilampaui secara konsisten selama sekitar 22 tahun.

Powell juga tidak membuat janji, dengan pertemuan September delapan pekan dari sekarang akan dianggap aman untuk kenaikan suku bunga lainnya, meskipun berlanjutnya perlambatan inflasi dan data ekonomi yang lebih lemah juga dapat mendorong pembuat kebijakan untuk berhenti.

Gejolak Global

Sementara itu, di tengah menguatnya spekulasi hawkish the Fed, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melaporkan stabilitas sistem keuangan (SSK) pada triwulan II-2023 masih tetap terjaga di tengah dinamika perekonomian dan pasar keuangan global.

"Perkembangan ini seiring dengan kondisi perekonomian dan sistem keuangan domestik yang resilien serta didukung koordinasi KSSK yang terus diperkuat," kata Ketua KSSK yang juga Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam konferensi pers KSSK di Jakarta, kemarin.

Sri Mulyani mengatakan ketidakpastian ekonomi global masih tetap tinggi. Namun, terdapat indikasi perbaikan pada perekonomian global ke depan. Hal tersebut tecermin pada Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi kembali proyeksi pertumbuhan globalnya menjadi 3,0 persen year-on-year (yoy) pada 2023, lebih baik dibanding proyeksi pada April yaitu 2,8 persen yoy.

Baca Juga: