JAKARTA - Bank Indonesia (BI) akan terus memantau risiko waktu dan besaran perubahan kebijakan atau tapering oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed, yang kemungkinan akan terjadi dalam waktu dekat. Meski demikian, reaksi dan pemahaman pasar mengenai kemungkinan perubahan kebijakan Fed tersebut dinilai sudah semakin baik saat ini.

"Pernyataan terakhir dari Gubernur The Fed Jeremy Powel dalam Jackson Hall kemarin melihat kemungkinan mulainya pengurangan likuiditas di akhir tahun ini, meskipun kenaikan suku bunga masih di penghujung 2022," ungkap Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (30/8).

Meski demikian, BI akan terus mengantisipasi kemungkinan- kemungkinan tersebut dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, pasar surat berharga negara (SBN), dan pemulihan ekonomi ekonomi global.

Perry menjelaskan pergerakan nilai tukar rupiah secara teknikal belakangan ini memang dipengaruhi reaksi pasar terhadap kemungkinan perubahan kebijakan Bank Sentral AS, namun langkah-langkah stabilisasi terus dilakukan.

"Kalau diperlukan melalui intervensi pasar. Tapi, secara keseluruhan pergerakan nilai tukar rupiah itu sesuai dengan mekanisme pasar, tidak banyak kami lakukan intervensi kecuali pada periode pasar mendapat tekanan seperti pada awal 2022 ini karena kenaikan kasus Covid-19 varian Delta," tegasnya.

Risiko Global

Maka dari itu, dia menyebutkan perkembangan Covid-19 varian Delta yang sudah terjadi di berbagai negara juga menjadi salah satu risiko global yang akan terus dipantau saat ini. "Kenaikan kasus Covid-19 tentu mempengaruhi pola pertumbuhan ekonomi global yang akan menjadi berbedabeda karena tergantung pada kemajuan vaksin dan besarnya stimulus," ujar Perry.

Dia menilai dampak dari divergensi pertumbuhan ekonomi di berbagai dunia tersebut mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia, meski terdapat peluang mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor terbuka.

Sebelumnya, Powell mengatakan bank sentral bisa mulai tapering (pengurangan) pembelian aset tahun ini. Namun, The Fed tetap berkomitmen untuk mempertahankan suku bunga acuannya pada level rekor terendah di kisaran 0-0,25 persen sambil melanjutkan program pembelian aset, setidaknya saat ini sebesar 120 miliar dollar AS per bulan sampai "progres lebih lanjut yang substansial" dibuat pada lapangan kerja dan inflasi.

Kepala Ekonom Grant Thornton, Diane Swonk menilai pidato itu membuat The Fed dalam mode wait and see pada pertemuan kebijakan September mendatang. "Mereka bisa saja berada di jalur yang lebih lama dari yang diperkirakan banyak orang, tergantung kerusakan yang dipicu oleh varian Delta dan progres penyerapan vaksin," ujar Diane.

Baca Juga: