» Bank Indonesia harus preventif menaikkan suku bunga karena kurs rupiah sudah 15.500 per dollar AS.

» Kalau FFR sudah hampir mencapai 6 persen, sangat tidak masuk akal kalau suku bunga deposito bank di Indonesia 6 persen.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dalam menjalankan fungsi pengelolaan moneter agar tidak menganakemaskan perbankan, tetapi malah mengorbankan perekonomian nasional. Hal itu mengacu pada sikap bank sentral yang terkesan reaktif dan panik menaikkan suku bunga, ketika terjadi pelarian modal yang berimbas pada depresiasi rupiah.

Padahal, BI bisa saja melakukan tindakan preventif dengan menaikkan suku bunga ke level yang lebih memadai ketika inflasi global berpotensi melonjak dan memaksa otoritas moneter di dunia berlomba-lomba menaikkan suku bunga acuannya. Seperti yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (Fed) dan Bank Sentral Eropa ECB serta bank sentral Inggris (BOE).

Hal itu disampaikan pengamat ekonomi dari Ahli dan Dosen Republik Indonesia (ADRI) Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, menanggapi kebijakan BI terkait dengan kasus penutupan Silicon Valley Bank (SVB) di AS, Jumat (10/3) lalu. Kegagalan bank terbesar sejak 2008 seperti dilansir oleh Business Insider, merupakan dampak dari kenaikan suku bunga Federal Reserve sebesar 1.700 persen dalam waktu kurang dari setahun.

Setelah Treasury bebas risiko mulai menghasilkan pengembalian yang lebih menarik daripada yang ditawarkan SVB, deposan mulai menarik uang mereka, dan bank membutuhkan cara cepat untuk membayarnya. Mereka akhirnya terpaksa menjual portofolio pinjaman mereka dengan kerugian besar.

Babak kacau ini menunjukkan bahwa rezim kenaikan suku bunga the Fed yang agresif dapat membalikkan institusi yang pernah dianggap relatif stabil. Tampaknya sensitivitas tingkat apa pun akan segera terungkap, dan perilaku pengambilan risiko di masa lalu akan dimintai pertanggungjawaban.

"Ketika Anda menaikkan suku bunga dengan cepat, setelah 15 tahun merangsang ekonomi secara berlebihan dengan tingkat mendekati nol, tidak membayangkan bahwa tidak ada pengaruh di setiap kantong masyarakat yang akan ditekankan adalah imajinasi yang naif," kata Lundy Wright, rekan di Weiss Multi- Strategy Advisers, Jumat (10/3).

Sudah ada dua contoh profil tinggi baru-baru ini yang tidak spesifik untuk sistem perbankan, tetapi masih menunjukkan tekanan yang disebabkan oleh suku bunga yang lebih tinggi. Pertama, runtuhnya pasar cryptocurrency. Sejak the Fed mulai menaikkan suku bunga pada Maret 2021, bitcoin yang sebelumnya merupakan lindung nilai inflasi yang dipuji, telah anjlok lebih dari 65 persen. Tekanan harga aset ini membantu berkontribusi pada kematian bursa mata uang kripto FTX (Futures Exchange), yang kemudian menghadapi proses hukum, dan bank kripto Silvergate, minggu ini dilikuidasi. Selain itu, ada juga penurunan dua digit pada saham teknologi dengan pertumbuhan tinggi selama periode yang sama.

Pertanyaan besar sekarang menjadi area sensitif, suku bunga apa yang selanjutnya akan merasakan dampak, dan apakah ada risiko nyata penularan tragedi SVB pada sistem keuangan.

Runtuhnya SVB adalah contoh sempurna dari jenis dislokasi eksposur saat siklus bergeser. Pada 2020 dan 2021, perusahaan rintisan teknologi dipenuhi dengan valuasi selangit, harga sahamnya melonjak ke rekor tertinggi hampir setiap minggu, dan semua orang dibanjiri uang tunai berkat stimulus triliunan dollar dari pemerintah.

SVB yang menjadi bank tujuan bagi para pemula, berkembang pesat. Depositonya meningkat lebih dari tiga kali lipat dari 62 miliar dollar AS pada akhir 2019 menjadi 189 miliar dollar AS pada akhir 2021. Setelah itu, SVB harus menggunakan uang itu untuk bekerja, dan pinjamannya buku tidak cukup besar untuk menyerap masuknya uang tunai dalam jumlah besar. Jadi, SVB melakukan hal yang normal untuk sebuah bank yang akhirnya merugikannya. Bank itu, membeli obligasi pemerintah AS dan sekuritas yang didukung hipotek. Pada 16 Maret 2022, ketika The Fed memulai kenaikan suku bunga pertamanya dari 0,25 persen, kini sudah naik 4,50 persen.

Tiba-tiba, portofolio obligasi jangka panjang SVB, yang menghasilkan rata-rata hanya 1,6 persen, jauh lebih tidak menarik dibandingkan dengan US Treasury Note 2 tahun yang menawarkan hasil hampir tiga kali lipat. Harga obligasi pun jatuh yang berakibat kerugian SVB miliaran dollar AS.

Menurut Aditya, kasus tersebut seharusnya dicermati BI dengan baik dan penuh perhitungan. Jangan sampai ada shock dari eksternal yang harus diantisipasi dengan cepat, tetapi malah menimbulkan kesan panik, apalagi kurs rupiah saat ini sudah menembus level 15.500 per dollar AS.

"SVB bukan bank biasa, banyak dana start up (perusahaan rintisan) tersangkut di situ. Uangnya tidak bisa dipakai untuk pengembangan. Kalau bank sebesar itu saja colapse, apalagi bank-bank di Indonesia," katanya.

Masalah Inflasi

Hal yang perlu dicatat, sejelek-jeleknya kondisi AS karena harga saham jatuh akibat kenaikan suku bunga the Fed, fundamental ekonominya kuat sekali. Pada bulan lalu, pertambahan lapangan kerja mencapai 500 ribu, masalah mereka hanya di inflasi yang berada di level 6 persen dan tidak bisa diterima the Fed.

"Kalau dibandingkan dengan aset bank di Indonesia tidak lebih baik. Apalagi banyak di properti dan kredit konsumsi. Jadi, kondisi kualitas aset bank tidak bisa diremehkan," katanya.

Selain itu, kalau di AS inflasi 6,5 persen, apa mungkin di Indonesia cuma 3 persen. Mungkin di desa, tapi itu pun karena yang dikonsumsi hanya kebutuhan pokok. "Tapi BI belum menaikkan bunga acuan, padahal dollar AS sudah tembus level 15.500 per dollar AS, ini membahayakan," katanya.

Negara ekonomi terbesar dunia seperti AS, kata Aditya, sangat khawatir dengan inflasi, sehingga suku bunga acuannya Fed Fund Rate sudah mendekat 6 persen. Otoritas moneternya pun pekan lalu mengumumkan akan terus menaikkan suku bunga untuk tekan inflasi sampai sesuai target mereka di kisaran 2 persen.

"Kalau FFR saja 6 persen, masuk akal nggak suku bunga deposito kita 6 persen," kata Aditya.

Dia pun mengimbau BI agar melakukan langkah preventif, bukan reaktif dan panik. Kalau sudah terimbas ke rupiah, kemudian terburu-buru menaikkan suku bunga acuan, sehingga tidak efektif.

"Harus preventif, jangan seperti 1998 sampai 21 persen setelah reaktif. Suku bunga wajar BI itu spread-nya minimal 3 persen di atas the Fed, karena rupiah lemah," katanya.

Kalau sampai rupiah melemah ke level 16 ribu per dollar AS, daya beli akan semakin turun dan memicu inflasi karena bahan pokok dan barang modal terkait dengan nilai dollar AS, mulai dari bahan bakar minyak, batu bara dan gas, terutama yang terkait dengan pangan yang diimpor seperti beras.

Jangan Ikut-ikutan

Selain meminta BI lebih preventif, Aditya juga meminta agar Otoritas Jasa Keuangan lebih memantau perusahaan jasa keuangan rintisan atau financial technology (fintech).

"Indonesia mau ikut-ikutan, padahal tidak punya kekuatan untuk bakar duit di start up. Jangan ikut-ikutan AS. Lebih baik membangun fondasi industri dasar, Usaha Kecil dan Menengah (UKM), sektor pertanian dan juga kelautan. Jangan latah di start up. RI tidak punya daya menopang sektor itu. Validasinya bubble. Misalnya Telkom, apakah tidak memikirkan akibatnya saat membeli saham perusahaan marketplace, sektor yang tidak dikuasainya," kata Aditya.

Dihubungi terpisah, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Wasiaturrahma, mengatakan kejatuhan SVB mengingatkan pada kejadian tahun 2007 ketika Lehman Brothers runtuh. Itu adalah badai yang terjadi 100 tahun. Bernanke, Paulson, Geithner telah merekayasa serangkaian intervensi darurat untuk berbagai keuangan raksasa, yang berpuncak pada Program Bantuan Aset Bermasalah (TARP) pada 2008, intervensi senilai 700 miliar dollar AS untuk seluruh sistem keuangan.

Sistem keuangan yang lumpuh, jelas Rahma, akan membuat resesi semakin parah, sementara resesi yang semakin dalam membuat sistem keuangan semakin buruk. Rahma pun berharap apa yang terjadi di AS jangan sampai menjalar ke Indonesia.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan setelah Gubernur Federal Reserve, Jerome Powell, memberi sinyal melanjutkan kenaikan tingkat suku FFR maka tentu akan berdampak pada perekonomian Indonesia, karena kenaikan bunga the Fed biasanya diikuti negara-negara lain.

Pada 2022 lalu, the Fed sudah naik 450 basis poin atau 4,5 persen, akibat inflasi global, sehingga ekonomi dunia akan melambat. Jika BI tidak mengikuti kenaikan suku bunga the Fed, rupiah akan terus tergerus nilainya terhadap dollar AS.

"Rupiah semakin terdepresiasi karena ada capital flight (aliran modal keluar) mengikuti negara yang memberikan tingkat suku bunga lebih tinggi. Permintaan dollar AS pun akan meningkat sehingga rupiah pun akan makin tertekan," papar Ester.

Baca Juga: