JAKARTA - Aliran modal keluar (capital outflow) dari pasar keuangan dalam negeri akan terus menekan nilai tukar rupiah. Intervensi yang dilakukan Bank Indonesia (BI) sudah tidak mempan menahan kejatuhan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Oleh sebab itu, BI selaku otoritas moneter didesak untuk menaikkan suku bunga acuan BI7days Reverse Repo Rate agar outflow tidak berlanjut.
Chief Economist PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), Andry Asmoro, menyampaikan bahwa masih terdapat ruang bagi BI untuk menaikkan tingkat suku bunga acuannya demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Dia menyebutkan konsensus memperkirakan terdapat kenaikan suku bunga acuan oleh BI pada tahun ini, seiring dengan menguatnya dollar AS terhadap mata uang lain termasuk rupiah, ditambah menurunnya ekspektasi bahwa bank sentral AS, Federal Reserve akan segera melakukan cut rate Fed Fund Rate (FFR).
"BI mungkin masih berpikir untuk hold dulu. Walaupun ruang naiknya ada, kalau memang rupiah tembus 16.500 rupiah per dollar AS dan outflow juga masih terus terjadi," kata Andry di Main Hall Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, seperti dikutip dari Antara.
Ia menjelaskan tantangan saat ini adalah apabila terjadi kenaikan harga komoditas terutama minyak mentah yang terus-menerus akibat konflik di Timur Tengah, akan menyebabkan kenaikan tingkat inflasi di berbagai negara.
Dengan kenaikan tingkat inflasi, maka bank-bank sentral dunia termasuk the Fed berpotensi masih akan menerapkan era tingkat suku bunga tinggi atau higher for longer.
"Dengan higher for longer, maka otomatis potensi untuk ekspektasi pertumbuhan ekonominya jadi terbatas, karena inflasi, cost of borrowingnya jadi tetap mahal. Itu kan implikasinya," jelas Andry.
Konsensus juga, katanya, memproyeksikan the Fed baru akan memangkas tingkat suku bunga acuannya pada September 2024, dari yang semula diproyeksikan akan dilakukan pada pertengahan tahun 2024.
"Dari probability market terakhir itu, baru kemungkinan cut rate pada September 2024. Tapi, kalau dilihat dari probability masih imbang sekitar 40 persen," jelas Andry.
Buat Pengendalian Inflasi
Pakar ekonomi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dian Anita Nuswantara, mengatakan jika masih tersedia cukup ruang bagi otoritas moneter maka sebaiknya BI menaikkan suku bunga acuannya dalam menghadapi penurunan kurs rupiah yang sedang terjadi.
"Sebagai upaya preemptive wacana kenaikan suku bunga memang untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak ketidakpastian global. Ini juga sekaligus bisa untuk mengendalikan inflasi," kata Dian.
Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo, meminta BI menaikkan suku bunga acuan minimal 25 basis poin (bps) atau 0,25 persen untuk meredam aksi jual yang memicu instabilitas rupiah.