Investasi di dalam negeri harus digenjot untuk mengeliminasi dampak proyeksi kenaikan the Fed.

JAKARTA - Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) dari posisi saat ini pada rentang 4,75 hingga 5 persen ke level 5 hingga 5,25 persen. Level 5,25 persen diperkirakan sebagai puncak dan akan kembali turun menjelang akhir tahun.

Pakar ekonomi, Raden Pardede, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) di Jakarta, Kamis (6/4), mengatakan penurunan suku bunga akan dilakukan the Fed dengan harapan inflasi di negara adidaya itu menurun ke kisaran 2 persen pada 2025.

"Dengan tujuan inflasi jangka panjang di level 2 persen dan suku bunga acuan di kisaran 3 persen, kondisi perekonomian AS akan normal kembali lantaran sebenarnya suku bunga acuan Fed yang berada di kisaran nol persen selama 15 tahun ini bukan merupakan kondisi yang normal," jelas Raden.

Rendahnya suku bunga acuan tersebut yang menyebabkan inflasi AS saat pandemi Covid-19 melonjak hingga mencapai 9,1 persen pada Juni 2022.

Tren suku bunga acuan AS itu, jelasnya, perlu mendapat perhatian dari otoritas moneter Indonesia karena setidaknya ada tiga jalur yang akan terpengaruh transmisi kebijakan moneter global. Pertama, jalur perdagangan yang paling mudah terkena transmisi kebijakan moneter. Dengan tingginya suku bunga, permintaan domestik di AS tentunya akan menurun dan mempengaruhi ekspor di negara-negara mitra, termasuk Indonesia.

Jalur kedua, yakni jalur keuangan melalui suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang akan mengikuti tren kenaikan untuk menjaga nilai tukar rupiah. "Bisa saja sebenarnya Fed menaikkan suku bunga, tapi Indonesia tidak, tetapi akan ada dampaknya terhadap nilai tukar kita yang harus diperhatikan," jelasnya.

Ketiga, melalui jalur ekspektasi dan psikologi pasar yang tidak boleh diremehkan. Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economics (Core), Yusuf Rendi Manilet, berpendapat persiapan otoritas moneter sangat tergantung dari seberapa jauh kondisi utama yang dipengaruhi oleh kebijakan otoritas moneter AS di atas.

"Ketika Bank Sentral AS misalnya menaikkan suku bunga acuan dan kemudian ini berdampak terhadap capital outflow dan muaranya ke pelemahan nilai tukar rupiah, tentu ada potensi Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga acuannya," jelas Rendi.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, mengatakan suku bunga acuan menjadi dasar lembaga keuangan dalam menentukan suku bunga yang diberikan kepada nasabah. The Fed berharap kenaikan akan mempengaruhi kinerja pasar saham, obligasi, dan investasi di AS, dan seluruh dunia.

"Saat bank sentral menaikkan suku bunga acuan, berarti dapat mengurangi jumlah uang yang beredar, memperkuat nilai tukar mata uang, dan menurunkan tingkat inflasi, dan sebaliknya. Seperti itulah harapan the Fed, supaya dapat mempengaruhi keputusan konsumen dan perusahaan dalam mengambil pinjaman atau berinvestasi," kata Bambang.

Tidak hanya di AS, tapi harapannya juga terjadi di banyak negara karena keberadaan dollar Amerika yang berlabel hard currency. Dengan suku bunga acuan yang berfluktuasi berarti semakin menunjukkan pula bahwa the Fed menjadi acuan bagi bank sentral negara-negara lain," ungkapnya.

Genjot Investasi

Dihubungi terpisah, Rektor Universitas Airlangga, Surabaya, Mohammad Nasih, mengatakan yang harus dilakukan adalah menggenjot investasi di dalam negeri untuk mengeliminasi dampak proyeksi kenaikan suku bunga the Fed.

Selama ini, jelasnya, kebergantungan Indonesia atas berbagai hal dari luar masih cukup tinggi, yang menyebabkan apa saja yang terjadi di luar pasti berdampak di Indonesia. "Ini yang mau tidak mau harus kita perhatikan. Sebab, yang di dunia luar tidak bisa kita kendalikan, maka yang kita lakukan adalah mengeliminasi dampaknya. Kita tidak bisa mengendalikan AS," kata Nasih.

Baca Juga: