» BI sebaiknya mengikuti kenaikan suku bunga Fed agar tidak ada capital flight yang bisa mengguncang kurs rupiah.

» Sinyal the Fed kembali melanjutkan kenaikan suku bunga lagi membuat borrowing cost semakin mahal.

WASHINGTON - Bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (the Fed), pada Rabu (26/7), menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) 0,25 persen ke kisaran 5,25-5,50 persen. Gubernur the Fed, Jerome Powell, mengatakan ekonomi AS masih perlu melambat, begitu juga pasar tenaga kerja melemah agar inflasi secara kredibel kembali ke target 2,0 persen.

Kenaikan yang ke-11 dalam 12 kali rapat Komite Pasar Terbuka atau Federal Open Market Committee (FOMC) itu membawa level suku bunga acuan ke posisi yang hampir sama sesaat sebelum jatuhnya pasar perumahan pada 2007 yang belum pernah dilampaui selama 22 tahun.

"Komite akan terus menilai informasi tambahan dan implikasinya terhadap kebijakan moneter," sebut the Fed.

Powell dalam kesempatan itu tidak berjanji untuk kembali menaikkan suku bunga pada pertemuan September atau delapan minggu dari sekarang, namun dia membuka peluang ke sana. Kendati demikian, berlanjutnya pelambatan inflasi dan data ekonomi yang lebih lemah bisa juga menjadi pertimbangan pembuat kebijakan untuk berhenti menaikkan bunga acuan.

Bank sentral, kata Powell, sangat mencermati secara keseluruhan data yang masuk, khususnya tanda-tanda bahwa ekonomi sedang menuju periode pertumbuhan di bawah tren yang diperlukan agar inflasi turun. Tingkat pengangguran masih tetap rendah di 3,6 persen, sementara pertumbuhan ekonomi AS tetap di atas tingkat tren yang diperkirakan Fed sebesar 1,8 persen.

Para ekonom yang disurvei Reuters mengharapkan data pada Kamis waktu setempat akan menunjukkan produk domestik bruto kuartal kedua berkembang hanya pada tingkat itu.

Powell mengakui sebagai perkembangan positif bahwa inflasi telah turun dari level tertinggi tahun lalu tanpa kerusakan ekonomi yang serius.

Powell mengatakan keputusan akan terus dibuat berdasarkan pertemuan demi pertemuan dan bahwa para pejabat hanya dapat memberikan panduan terbatas tentang kebijakan moneter selanjutnya di lingkungan saat ini.

"Sangat mungkin kami akan menaikkan suku bunga dana (federal) lagi pada pertemuan September jika data diperlukan mendukung, dan saya juga akan mengatakan bahwa mungkin saja kami akan memilih untuk tetap stabil pada pertemuan itu, jika itu keputusan kebijakan yang tepat," kata Powell.

Kendati demikian, dia mengatakan agar tidak berharap akan ada pelonggaran suku bunga dalam jangka pendek. "Kami akan memangkas suku bunga ketika kami merasa nyaman dan itu tidak akan terjadi tahun ini," kata Powell.

"Supply Shock"

Menanggapi keputusan the Fed itu, pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan seperti prediksi sebelumnya, masih akan ada potensi kenaikan suku bunga the Fed lagi pada tahun 2023 karena kondisi ekonomi global yang belum stabil terutama setelah pandemi dan konflik geopolitik yang mengakibatkan pasar global mengalami supply shock.

"Akibatnya, inflasi pun meningkat karena supply terbatas dan permintaan tetap mengakibatkan harga-harga naik. Kenaikan suku bunga ini sebagai respons dari inflasi yang tidak turun cepat seperti yang diperkirakan," kata Esther.

Implikasinya pada sektor keuangan di Indonesia memang belum terlalu signifikan terhadap stabilitas nilai tukar karena sudah sesuai ekspektasi pasar dan kenaikannya pun tidak terlalu besar. Namun demikian, yang perlu diwaspadai apabila the Fed kembali menaikkan suku bunga, Bank Indonesia sebaiknya merespons kebijakan itu dengan mengikuti kenaikan suku bunga Fed agar tidak ada capital flight yang bisa mengguncang stabilitas nilai tukar.

Diminta terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan keputusan the Fed itu menunjukkan bahwa inflasi masih menjadi fokus utama mereka. Bahkan, the Fed memberi sinyal bisa saja kembali melanjutkan kenaikkan suku bunga lagi yang membuat borrowing cost menjadi makin mahal sehingga bisa menekan ekspansi produksi maupun konsumsi.

"Bagi Indonesia, keputusan terbaru the Fed tersebut tentu harus disikapi. Mengoptimalkan perangkat kebijakan macroprudential secara komprehensif demi stabilitas rupiah kiranya lebih penting," kata Aloysius.

Baca Juga: