» Pemerintah dan BI harus bertanggung jawab mengendalikan inflasi agar tetap moderat.

» Gejolak, volatilitas, dan tekanan ekonomi global akan mempengaruhi ekonomi Indonesia.

JAKARTA - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diminta lebih memperkuat kolaborasi dalam menghadapi ancaman ketidakpastian ekonomi terutama pada 2023 mendatang. Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan yang perlu diperhatikan dalam upaya menghadapi gejolak ekonomi ke depan adalah tetap mendorong pertumbuhan ekonomi sekitar 4-5 persen dan menjaga rupiah tidak semakin terdepresiasi lebih dalam.

Tanggung jawab cukup berat yang harus dilakukan pemerintah dan BI adalah pengendalian inflasi agar dalam angka moderat. Hal itu agar tidak memperlemah daya beli.

Pengendalian inflasi itu juga untuk mengimbangi pengendalian inflasi yang dilakukan AS. "Jika Indonesia berhasil mengendalikan inflasi lebih baik dari AS maka rupiah akan stabil," kata Suhartoko.

Dari otoritas moneter, hal yang paling penting adalah menahan capital outflow atau pelarian modal. Langkah BI menaikkan suku bunga acuan jangka pendek baru-baru ini dinilai tepat.

"Apa yang dilakukan BI ini agar dapat ditransmisikan ke suku bunga surat berharga domestik agar tetap menarik di mata investor. Namun, hal ini juga harus dibarengi pengelolaan ekspektasi yang bersifat forward, bahwa apa yang dilakukan BI saat ini dipercaya akan mengendalikan inflasi dan nilai tukar rupiah," jelas Suhartoko.

Hal lain yang harus dilakukan terutama oleh pemerintah yaitu menjaga momentum kenaikan ekspor terutama produk-produk yang dibutuhkan di Eropa seperti energi dan bahan pangan.

Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, pada peluncuran buku Kajian Stabilitas Keuangan, di Jakarta, Jumat (21/10), mengatakan Indonesia tetap harus waspada, namun optimistis dalam menghadapi gejolak ekonomi global ke depannya. "Kita waspada karena gejolak, volatilitas, ataupun tekanan yang terjadi di ekonomi global setidaknya akan masuk mempengaruhi ekonomi Indonesia," ungkap Destry.

Kendati demikian, dia menekankan agar Indonesia tetap harus optimistis lantaran memiliki daya dukung ekonomi yang cukup bervariasi dan solid, terutama ekonomi domestik yang cukup kuat, baik didukung dengan konsumsi masyarakat hingga potensi ekonomi lainnya yang luar biasa.

Indonesia saat ini, jelas Destry, masih dalam posisi yang cukup baik, di mana perekonomian pada kuartal kedua tahun 2022 masih bisa tumbuh di atas 5 persen dan diperkirakan untuk sepanjang tahun 2022 akan tumbuh di antara 4,5 persen hingga 5,3 persen.

Dia mengatakan dunia saat ini menghadapi suatu ketidakpastian yang sangat tinggi atau biasa disebut VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity), yang tentunya akan menyebabkan tekanan tidak hanya pada negara maju, tetapi negara berkembang.

Bahkan, jika dilihat lebih lanjut episentrum dari terjadinya gejolak VUCA saat ini adalah di negara maju, seperti di Amerika Serikat (AS) di mana mereka menghadapi tekanan inflasi yang tinggi dan kemudian direspons dengan kebijakan moneter melalui peningkatan suku bunga acuan yang sangat agresif.

"Lalu ada juga fenomena heatwave di berbagai negara, kebijakan proteksionisme masing-masing negara, dan tambahan adanya kebijakan zero-Covid di Tiongkok yang akhirnya membuat ekonomi negeri itu juga tertahan," katanya.

Investor Khawatir

Pakar Ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan Indonesia memang harus waspada, namun optimistis menghadapi gejolak ekonomi global ke depan.

"Di antara negara-negara G-20, kita termasuk yang relatif tidak terlalu terdampak oleh krisis ini. Kalau di beberapa negara-negara Eropa, warganya sudah protes turun ke jalan. Kita masih relatif stabil," kata Leo.

Dengan jumlah penduduk yang banyak seperti India dan Tiongkok, investor tentu khawatir, tetapi tidak akan menarik dananya begitu saja, karena produknya bisa tidak diserap pasar dalam negeri.

"Namun yang perlu diwaspadai adalah rupiah, yang hari ini sudah sampai 15.500. Memang penurunan rupiah tidak tajam seperti poundsterling atau mata uang lainnya. Tapi bagaimanapun BI harus mewaspadai ini, berhati-hati dalam mengelolanya," pungkas Leo.

Baca Juga: