JAKARTA - Desakan terhadap Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan bunga acuan makin kencang guna mengantisipasi inflasi tinggi. Sebab, pengetatan moneter melalui kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah dinilai tak efektif menahan laju inflasi di dalam negeri.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan BI perlu menaikkan suku bunga acuan setidaknya 50 basis poin (bps) sampai akhir tahun 2022 untuk mengantisipasi inflasi. BI dijadwalkan menggelar rapat dewan gubernur (RDG) selama dua hari mulai, Rabu (20/7).

"Mau tidak mau, Bank Indonesia harus memperketat likuiditas dengan meningkatkan suku bunga acuan paling tidak 50 bps. Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed sudah menaikkan suku bunga sampai 100 bps, biasanya kita hanya separuhnya dengan konsekuensi pertumbuhan ekonomi agak melambat," katanya di Jakarta, Senin (18/7).

Bank sentral masih mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI 7DRR) sebesar 3,50 persen, tetapi telah menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah sekitar 6,0 persen sampai 7,5 persen mulai 1 Juli 2022. "Kenaikan GWM sudah berjalan hampir tiga bulan, tetapi tetap tidak bisa menahan laju uang beredar yang juga menjadi penyebab inflasi," katanya.

Tambah Anggaran

Sementara itu, pemerintah telah berupaya menahan laju inflasi dengan menambah anggaran untuk subsidi energi hingga 349,9 triliun rupiah agar masyarakat tidak terdampak langsung oleh kenaikan harga energi secara internasional.

"Pemerintah juga perlu terus memastikan ketersediaan barang pokok, meski harganya relatif mahal, misalnya untuk produk pangan impor seperti kedelai, sapi, bawang putih, gandum, dan gula," katanya.

Tauhid memperkirakan inflasi yang mencapai 3,19 persen secara year to date pada Juli 2022 akan menjadi sekitar 6,5 persen sampai akhir tahun. Namun, inflasi inti baru mencapai 2,36 persen yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan pangan. Inflasi inti tetap dalam target kisaran BI sebesar 2-4 persen.

Kenaikan harga pangan dan energi dunia baik karena perang Russia dengan Ukraina, proteksi yang dilakukan beberapa negara, maupun gangguan rantai pasok global menjadi penyebab inflasi tahun ini. Di samping itu, nilai tukar juga mengalami pelemahan hingga 8 persen dalam 6 bulan terakhir sehingga harga produk impor semakin tinggi.

Dia memandang pemerintah perlu melanjutkan upaya mengendalikan inflasi yang berdampak paling signifikan terhadap pelaku usaha, juga masyarakat miskin dan rentan miskin.

Sebelumnya, BI memberikan sinyalemen untuk memperketat kebijakan moneter melalui instrumen kenaikan suku bunga acuan. Penyesuaian suku bunga acuan dilakukan jika ada tanda-tanda inflasi inti yang terdeteksi lebih tinggi, sehingga akan tetap mewaspadai tekanan inflasi dan dampaknya terhadap ekspektasi inflasi.

Baca Juga: