>> Program relaksasi pinjaman bagi pengusaha akan mempersulit kondisi perbankan nasional.
>> Bakal ada potensi peningkatan kredit macet pada tahun ini.
JAKARTA â€" Perbankan nasional beÂrisiko mengalami krisis karena dampak pandemi virus korona jenis baru atau Covid-19. Apalagi, pemerintah telah membuka peluang kepada kalangan pengusaha yang terdampak korona unÂtuk mendapatkan fasilitas keringanan pembayaran kredit.
Akibatnya, jumlah kredit macet bakal berpotensi meningkat. Untuk itu, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa KeÂuangan (OJK) mesti mengantisipasinya dengan membuat rencana tentang konÂdisi bank nasional.
Pengamat perbankan, Doddy AriefiÂanto, mengatakan pemerintah dan otoÂritas moneter sudah tidak bisa mengelak dari dampak Covid-19 yang telah mengÂgerogoti aktivitas bisnis dan membuat turun perekonomian nasional dalam satu bulan terakhir.
“Dari berbagai jenis bisnis, seperti hotel, bioskop, manufaktur sudah muÂlai mengalami dampak dari Covid-19. Hal ini terlihat dari anjloknya indikator bisnis, seperti anjloknya revenue (penÂdapatan) dan anjloknya profit (keunÂtungan),†ujar Doddy saat dihubungi, Senin (30/3).
Menurut Doddy, anjloknya kinerÂja pebisnis terdampak Covid-19 akan membuat kualitas kredit mengalami penurunan. “Apalagi bank sudah diberiÂkan arahan oleh OJK bahwa sepanjang masih bisa untuk kredit sektor tertentu, kredit terdampak Covid-19 masih tetap dikategorikan lancar meskipun yang diÂbayar hanya cicilan bunga saja dan berÂlaku hingga setahun. Jadi, realistisnya kita pikir ada lonjakan kredit macet di tahun ini,†ujarnya.
Sementara itu, ekonom Ferry LatuhiÂhin mengatakan seharusnya pemerinÂtah mengacu pada kondisi perbankan nasional dan jangan terburu-buru meÂngeluarkan kebijakan relaksasi kredit.
“Kebijakan ini sangat buruk sekali dampaknya untuk ekonomi dan stabiliÂtas sektor perbankan kita. Harusnya diÂpikirkan dulu dengan matang,†katanya.
Ferry mengusulkan agar pemerintah menerbitkan obligasi atau surat utang negara untuk menyelamatkan perbankÂan. “Obligasi itu bisa dijual atau direpo ke BI manakala dibutuhkan untuk menÂjaga likuiditas dan solvency bank-bank. Ini harus segera dilakukan sebelum berÂkembang menjadi ketidakpercayaan atas sektor perbankan nasional,†jelasnya.
Ferry mengatakan pemerintah, BI, dan OJK mesti bisa belajar dari Tiongkok yang sekarang menghadapi peningkatÂan kredit macet. Ini terjadi karena pemeÂrintah Tiongkok meminta para pemberi pinjaman untuk mendorong ekonomi dan mendukung perusahaan yang terÂkena dampak pandemi virus Covid-19. Akibatnya, kini tingkat permodalan beÂberapa bank di Tiongkok berada di baÂwah ambang batas akibat lonjakan kreÂdit macet.
Kualitas Aset Turun
Menurut lembaga pemeringkat kredit internasional, Fitch Ratings, rasio kredit bermasalah di bank-bank Tiongkok diperÂkirakan akan naik menjadi sekitar 3,5 perÂsen, dari 1,5 persen pada Juni tahun lalu. Skenario seperti itu akan mendorong raÂsio ekuitas-1 tingkat umum di Bank China Minsheng, Bank Hua Xia, dan Bank China Guangfa di bawah persyaratan peraturan minimum 7,5 persen dan sejumlah bank menengah lain juga diperkirakan akan mendekati ambang itu.
“Pada akhirnya bank-bank meneÂngah dan kecil yang akan mengalami pukulan terbesar pada kualitas aset mereka,†kata kepala bank-bank utama Tiongkok di Fitch, Grace Wu, seperti diÂkutip Financial Times edisi Senin (30/3).
Lembaga pemeringkat Moody juga telah menurunkan prospek enam bank menengah di Tiongkok, dari stabil menÂjadi negatif karena kekhawatiran terhaÂdap kualitas kredit. Lembaga pemeringÂkat mencatat bahwa Bank of Nanjing memiliki eksposur yang besar terhadap sektor manufaktur dan grosir dan ritel, yang sangat dipengaruhi oleh pandemi virus Covid-19.
Sedangkan S&P telah memperingatÂkan bahwa hingga 11,5 persen dari total pinjaman dalam sistem perbankan koÂmersial atau sekitar 2,1 triliun dolar AS, baik yang bermasalah atau terlambat daÂpat dipertanyakan. Menurut S&P, pada akhirnya keadaan itu bisa menguras caÂdangan modal regulatori sektor ini, memÂbuat beberapa pemberi pinjaman rentan terhadap guncangan likuiditas.
Baru-baru ini, perusahaan riset indeÂpenden, Rhodium Group mengatakan telah mengidentifikasi 1,5 triliun yuan sebagai piutang tak tertagih, yang tidak diakui atau tidak tercatat di antara 49 bank Tiongkok yang terdaftar melebihi 2 perÂsen suku bunga kredit macet resmi meÂreka. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat utang yang buruk sebenarnya, jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan. FT/SB/YK/uyo/AR-2