Rupiah terus tertekan dan hingga pekan ini sudah mencapai level terlemah dalam lima bulan terakhir

JAKARTA - Beberapa pejabat di Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (the Fed) sedang mempertimbangkan hanya akan satu kali menurunkan suku bunga pada tahun ini. Pertimbangan tersebut lebih sedikit dibandingkan perkiraan awal yakni penurunan sebanyak tiga kali.

Presiden Fed Atlanta, Raphael Bostic, yang saat ini menjadi anggota pemungutan suara di komite penetapan suku bunga the Fed, menyarankan agar bank sentral hanya menurunkan suku bunga satu kali pada tahun ini.

"Perekonomian terus memberikan kejutan dan menjadi lebih kuat daripada yang saya perkirakan atau proyeksikan," kata Bostic, pekan lalu, seperti diberitakan CNN, Rabu (27/3). Hal itu yang mengubah keyakinannya bahwa bank sentral harus menurunkan suku bunga hanya sekali tahun ini.

Suku bunga the Fed saat ini berkisar 5,25-5,50 persen atau level tertinggi dalam 23 tahun. Sebanyak empat dari 19 pejabat di komite penetapan suku bunga saat ini memperkirakan suku bunga akan tetap di atas 5 persen tahun ini, yang menyiratkan hanya satu kali penurunan atau tidak ada penurunan sama sekali menurut proyeksi dari pertemuan minggu lalu.

Sementara itu, pada Desember 2023 lalu, tiga pejabat the Fed melihat tingkat suku bunga akan tetap di atas 5 persen. Hanya satu pejabat yang melihat tingkat suku bunga turun di bawah 4,5 persen, menyiratkan empat kali pemotongan pada tahun ini.

Beberapa pejabat telah menyampaikan argumennya dalam pidato publik tentang bagaimana the Fed harus menghadapi tugas sulit menentukan arah suku bunga. Masing-masing ada konsekuensi jika terlalu cepat menurunkan atau menahannya terlalu lama.

Jika the Fed memangkas suku bunga sebelum waktunya, mereka berisiko kehilangan kendali terhadap inflasi yang belum kembali ke target 2 persen. Di sisi lain, jika the Fed menunggu terlalu lama untuk melakukan pemotongan, suku bunga yang tinggi dapat memberikan dampak buruk bagi perekonomian AS dan berpotensi memicu resesi.

"Masyarakat AS yang terbebani oleh tingginya biaya pinjaman untuk pinjaman mobil, hipotek, dan kartu kredit tidak akan berharap banyak pada tahun ini," sebut pemberitaan tersebut.

Kurang Menggembirakan

Pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo, yang diminta tanggapannya mengenai pernyataan pejabat the Fed itu untuk menurunkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR), menjadi berita yang kurang menggembirakan bagi Indonesia. Pasalnya, saat ini saja rupiah terus tertekan hingga pada pekan ini sudah mencapai level terlemah dalam lima bulan terakhir.

"BI akan dipaksa bekerja keras untuk menstabilkan rupiah. Dalam rapat Dewan Gubernur April, BI berada dalam tekanan untuk menaikkan suku bunga acuan kalau rupiah tidak segera stabil," kata Susilo.

Dalam jangka pendek, Susilo mengatakan harapan selanjutnya adalah pada proses transisi politik yang smooth. Para politisi sebaiknya tidak membuat pernyataan-pernyataan ekonomi politik yang meragukan keyakinan investor asing atas kebijakan Tanah Air, seperti uji coba makan siang gratis.

"Dalam masa transisi, sebaiknya bikin statement yang meyakinkan pasar bahwa kebijakan pro pasar akan dilanjutkan," kata Susilo.

Realisasikan Investasi

Tahun terakhir pemerintahan Jokowi, kata Susilo, seharusnya dimanfaatkan untuk segera merealisasikan investasi asing langsung yang sudah disepakati dan perizinannya sudah turun.

"Sebab, data menunjukkan realisasi dari investasi yang izinnya sudah turun baru 50 persen. Realisasikan saja sisanya karena akan sangat menolong rupiah," kata Susilo.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan jika dollar AS terus menguat maka daya beli Indonesia menurun karena rupiah terdepresiasi.

"BI sebaiknya memanfaatkan kondisi tersebut menarik modal masuk ke Indonesia dengan berbagai instrumen moneter, seperti menaikkan tingkat suku bunga," ungkapnya.

Baca Juga: