JAKARTA - Bank Indonesia (BI) akan mengarahkan kebijakan moneter pada 2022 kepada stabilitas setelah sebelumnya seluruh instrumen kebijakan bank sentral dikerahkan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional. Stabilisasi tersebut diperlukan untuk mengantisipasi dampak tapering off atau pengurangan stimulus melalui pembelian surat berharga oleh Bank Sentral AS, Federal Reserve yang diperkirakan dilakukan pada awal 2022.

Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, dalam sebuah diskusi secara daring di Jakarta, Kamis (29/7), mengatakan untuk kebijakan makroprudensial ataupun sistem pembayaran pada 2022 masih akan bersifat akomodatif untuk pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan moneter tersebut antara lain dengan stabilisasi nilai tukar rupiah melalui triple intervention, yakni pasar spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Selain nilai tukar, kebijakan moneter juga difokuskan pada upaya menjaga stabilitas suku bunga rendah dan likuiditas longgar sampai munculnya indikasi awal kenaikan inflasi secara permanen.

"Suku bunga rendah ini akan terus kami pertahankan walaupun beberapa negara di Amerika Latin dan Russia sudah mulai menaikkan suku bunga, tapi memang fundamentalnya berbeda dengan Indonesia," jelas Destry.

Perubahan kebijakan moneter BI kemungkinan baru terjadi pada awal 2022 yang dimulai dengan pengetatan likuiditas sebelum menaikkan suku bunga acuan.

Kebijakan stabilitas itu juga akan melalui penguatan sinergi kebijakan, khususnya dengan pemerintah, maupun Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Khusus kebijakan makroprudensial masih akan tetap akomodatif pada 2022 dengan melanjutkan kebijakan longgar seperti Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Loan to Value (LTV) untuk mendorong kredit dan pertumbuhan ekonomi, serta melanjutkan inovasi kebijakan makroprudensial longgar lanjutan untuk mendorong sektor prioritas dan UMKM.

Lebih lanjut, dia menjelaskan kebijakan digitalisasi sistem pembayaran juga akan tetap mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, melalui akselerasi digitalisasi sistem pembayaran melalui Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia, pengembangan infrastruktur FPMI dan operasional sistem pembayaran, serta efisiensi dan daya saing industri, termasuk pricing policy.

Tetap Bertahan

Menanggapi kebijakan moneter bank sentral itu, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan, BI sejak tahun 1999 memang target kebijakan moneternya selalu diarahkan ke stabilitas nilai tukar dan stabilitas harga.

Kebijakan itu berbeda dengan Amerika Serikat (AS) yang memang mengeluarkan easy money policy untuk menanggulangi (bailout) selama pandemi Covid-19 sebesar empat triliun dollar AS. Dana tersebut digunakan sebagai insentif ke dunia usaha agar mereka tetap bisa bertahan dan tidak memecat karyawannya.

"Pemerintah pun mengeluarkan kebijakan fiskal berupa relaksasi pajak (tax break), social protection seperti tunjangan hidup selama lockdown bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Para pekerja yang dirumahkan itu rata-rata mendapat subsidi sebesar 1.200 dollar AS atau sekitar 17,16 juta rupiah per orang dengan asumsi kurs 14.300 per dollar AS.

n ers/E-9

Baca Juga: