Hewan mamalia pesut Mahakam yang terancam punah saat ini masih bisa dijumpai di Desa Wisata Pela. Berada tepi aliran sungai yang berawa, warga desa yang umumnya nelayan memiliki kesadaran untuk menjaga sang satwa dari kepunahan.
Hewan mamalia pesut Mahakam yang terancam punah saat ini masih bisa dijumpai di Desa Wisata Pela. Berada tepi aliran sungai yang berawa, warga desa yang umumnya nelayan memiliki kesadaran untuk menjaga sang satwa dari kepunahan.
Keunikan Sungai Mahakam dibandingkan dengan sungai-sungai besar lain di Kalimantan adalah sungai ini dihuni oleh hewan pesut. Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) demikian disebut, adalah sejenis hewan mamalia yang sering disebut lumba-lumba air tawar yang kini berstatus terancam punah.
Pesut Mahakam mempunyai kepala berbentuk bulat dengan kedua matanya kecil yang mungkin merupakan adaptasi terhadap air yang berlumpur. Tubuh pesut berwarna abu-abu sampai wulung tua, lebih pucat di bagian bawah serta tidak memiliki pola khas.
Sirip punggungnya kecil dan membundar di belakang pertengahan punggung. Dahinya tinggi dan berbentuk bundar, tidak ada moncong seperti lumba-lumba lain. Evolusi selama ribuan tahun membuat sirip dadanya lebar membundar.
Hewan ini hidup dengan berkelompok dalam kawanan kecil. Walaupun pandangannya tidak begitu tajam dan kenyataan bahwa pesut hidup dalam air yang mengandung lumpur, tetapi pesut ini merupakan 'pakar' dalam mendeteksi dan menghindari rintangan-rintangan.
Seperti halnya lumba-lumba, kemungkinan hewan mamalia ini menggunakan sonar berupa gelombang ultrasonik untuk mendeteksi tempat dalam melakukan pergerakan dengan deteksi suara frekuensi tinggi (ultrasonik). Melalui sistem ini, Pesut Mahakam bisa menerka benda-benda, mencari makan, dan berkomunikasi.
Pesut ini dinamakan Pesut Mahakam karena hanya bisa ditemukan di perairan Sungai Mahakam, tetapi peneliti barat lebih mengenal hewan ini dengan nama Irrwaakbarddy dolphin. Hal ini karena hewan ini juga ditemukan di Sungai Irrawaddy di Myanmar, dan Sungai Mekong yang mengalir dari Yunnan di Tiongkok, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam.
Menurut data tahun 2018, Pesut Mahakam memiliki populasi global sebanyak 6.000 ekor. Di perairan sungai-sungai di Kalimantan khususnya Mahakam, hewan ini diperkirakan tinggal 80 ekor saja hingga menempati urutan tertinggi dari daftar satwa Indonesia yang terancam punah. Yang menggembirakan, populasi hewan ini justru mengalami peningkatan di Kamboja.
Tidak seperti mamalia air lain yakni lumba-lumba dan paus yang hidup di laut, Pesut Mahakam hidup di sungai-sungai daerah tropis. Di Indonesia, hewan ini bisa ditemukan di banyak muara-muara sungai di Kalimantan, tetapi sekarang pesut ini telah menjadi satwa langka.
Salah satu cara melihat Pesut Mahakam saat ini adalah di aliran Sungai Pela, anak Sungai Mahakam, tepatnya di Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Di sini habitat hewan pemangsa ikan dan udang air tawar ini dapat dijumpai pula di perairan Danau Jempang, Danau Semayang, dan Danau Melintang.
Di Sungai Pela, pesut-pesut ini bisa kita lihat sedang mencari makan dengan cara bergerombol dengan warna abu-abunya terlihat timbul tenggelam di tengah perairan yang berwarna coklat dan kadang sedikit bening. Pemandangan langka inilah yang menjadi daya tarik wisatawan untuk datang.
Di ujung timur Danau Semayang, lokasi aliran airnya menyempit mengalir ke Sungai Pela di Desa Wisata Pela berada. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Muhuran, sebelah selatan Desa Sangkuliman, sebelah barat dengan Desa Semayang, dan sebelah timur dengan Desa Liang Ulu.
Hampir 95 persen masyarakat di desa ini berprofesi sebagai nelayan air tawar. Aktivitas masyarakat yang didominasi oleh penangkapan ikan, sangat bergantung pada keberadaan Sungai Pela, anak Sungai Mahakam, dan Danau Semayang. Data Badan Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2022 menyebutkan bahwa masyarakat Desa Pela terbagi atas 6 RT dengan jumlah 172 kepala keluarga terdiri dari 577 jiwa.
Kini desa nelayan itu telah menjelma menjadi desa wisata. Hal ini diperkuat dengan Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 250/SK-BUP/HK/2019 tentang lokasi desa wisata. Dalam diktum keputusannya disebutkan bahwa Desa Pela ditetapkan sebagai desa wisata dengan berbasis wisata sungai dan danau dengan ekosistem mamalia langka Pesut Mahakam atau lumba-lumba air tawar.
Di dari sekitar 80 ekor pesut Mahakam yang ada di Kalimantan, 20 ekor dapat dijumpai di Sungai Pela. Di desa ini pesut seakan akrab dengan masyarakat dengan suku Banjar dan Bugis yang menjadi mayoritas di sini. Sedangkan 12 desa yang ada di sekitarnya mayoritas dihuni suku Dayak Kutai.
Suku Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan datang ke Pela ketika terjadi Perang Banjar yang terjadi 1859 hingga 1905, antara pihak Kerajaan Banjar dengan Belanda. Karena kehidupan mereka terganggu akhirnya memutuskan untuk pindah ke Pela yang kondisi alamnya mirip dengan Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin saat ini yang berawa.
Perpindahan mereka ke tempat baru ini disebut sebagai bentuk "pelarian" dari peperangan. Sedangkan orang-orang Bugis juga datang ke tempat ini untuk mencari ikan dan menjadi nelayan. Suatu ketika karena kemarau panjang, mereka mengalami hawa yang sangat panas yang kemudian orang Bugis menyebutnya mapelai.
Ketika penduduk semakin bertambah dan belum ada nama untuk menyebut wilayah tempat hidup mereka, suku Banjar ingin menamai kampung ini dengan nama "pelarian". Sementara suku Bugis ingin menamainya dengan mapelai.
Akhirnya para tokoh dari kedua suku menyepakati nama Pela sebagai jalan tengahnya dari kedua usulan.
Wilayah Konservasi
Di Pela, pesut telah akrab dengan masyarakat sejak lama, dan masyarakat tidak pernah memburunya. Kini kawasan ini merupakan wilayah konservasi Pesut Mahakam bekerja sama dengan Yayasan Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI). Dari total 6.000 ekor yang ada di dunia, 80 ekor berada di sepanjang aliran Sungai Mahakam.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Pela, Alimin, menerangkan Desa Pela memang menjadi rumah bagi mamalia Pesut Mahakam. Warga desa ikut menjaga keberadaan Pesut Mahakam yang bermukim di muara sungai. Bahkan, ikut merawat dan menolong Pesut yang ditemukan terluka atau bahkan mati di tepian sungai.
"Kami ikut menjaga keberlangsungan hidup pesut. Desa Pela ini juga rumah mereka," kata Alimin dikutip dari laman Diskominfo Kalimantan Timur.
Wajah dari desa berupa perkampungan nelayan seperti perkampungan halnya pesisir dan rawa. Bangunannya didominasi oleh rumah dan jembatan dari kayu. Jembatan tatakan kayu menjadi jalan utama yang menghubungkan setiap rumah. Sedangkan di sekelilingnya berupa anak sungai, rawa dan danau. hay/I-1