» Kekayaan negara seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk masyarakat umum, bukan kelompok tertentu.
» Terobosan untuk menyehatkan anggaran harus diambil, termasuk menghentikan pembayaran utang yang tidak semestinya ditanggung negara.
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 16 Agustus 2022 akan menyampaikan pidato kenegaraan dan Penyampaian RUU APBN Tahun Anggaran 2022 disertai Nota Keuangan dan Dokumen Pendukungnya dalam sidang tahunan MPR dan DPR. Dalam penyampaian nota keuangan diharapkan menjadi petunjuk untuk desain Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 yang lebih sehat, berkualitas, dan berkelanjutan.
Agar lebih sehat dan berkualitas, RAPBN ke depan diharapkan memiliki sumber penerimaan yang lebih meningkat. Begitu pula dari sisi belanja, benar-benar alokasi pembiayaan untuk kegiatan pembangunan yang produktif dan bermanfaat bagi masyarakat serta perekonomian.
Staf Ahli Pansus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Hardjuno Wiwoho, kepada Koran Jakarta, Kamis (11/8), mengatakan dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi betul-betul menunjukkan komitmen untuk menegaskan aturan yang sudah disepakati bersama.
Berkaitan dengan penyusunan RAPBN 2023, Hardjuno berharap Presiden Jokowi lebih berani membuat arahan tentang pemanfaatan keuangan negara untuk sebesar-besarnya pada kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan orang perorangan apalagi kelompok bisnis tertentu. "Pos-pos belanja bunga utang obligasi rekapitalisasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) seharusnya sudah ditiadakan karena hanya mensubsidi kelompok-kelompok konglomerat pemilik bank penerima obligasi rekap. Sedangkan sumber pendanaannya dari pajak semua warga negara, bahkan ada yang dari penarikan utang," kata Hardjuno.
Kalau Presiden sudah mengingatkan ada 800 juta jiwa penduduk dunia terancam kelaparan dan subsidi bahan bakar minyak (BBB) yang terus membengkak menjadi 502,4 triliun rupiah, sudah saatnya pemerintah menghapus semua mata anggaran yang tidak berkontribusi pada rakyat seperti pembayaran subsidi bunga obligasi rekap BLBI.
"Sudah saatnya Presiden menunjukkan kekuatan pada konglomerat-konglomerat yang selama ini mengangkangi negara dengan menikmati bunga obligasi rekap yang diambil dari APBN.
"Obligasi rekap BLBI ini borok yang bikin sakit seluruh organ tubuh kita. Semua, pajak rakyat dipakai untuk membayar bunga selama 23 tahun sejak 1999 yang bank-banknya hari ini sudah jadi bank raksasa semua. Kasus BLBI akan jadi sejarah kelam dan dosa sejarah yang akan diterima anak cucu kita jika tidak di tuntaskan. Sampai kapan dibiarkan?" tandas Hardjuno.
Jika terus dibiarkan pajak rakyat untuk beban subsidi bunga obligasi rekap sampai 2043 akan tembus 4.000 triliun rupiah. Jumlah yang fantastis sekali melihat tingkat kemiskinan hari ini masih dua digit dan ancaman kelaparan di depan mata.
Apalagi, semua negara saat ini dalam tekanan keuangan hebat karena anggaran besar untuk pandemi Covid rata-rata berasal dari utang. Selain itu, memanasnya geopolitik dan juga perubahan iklim menaikkan inflasi saat ekonomi sedang mundur. "Harga barang naik, tapi pendapatan turun, ini situasi berat sekali. Saatnya, Presiden ambil sikap tegas di pembacaan nota keuangan pada 16 Agustus nanti, setop pembayaran bunga rekap. Itu akan jadi proklamasi kemerdekaan dari konglomerat hitam negeri ini," tandas Hardjuno.
Harus Berani Moratorium
Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, menegaskan sebaiknya pemerintah memang harus memoratorium pembayaran obligasi rekap BLBI karena sudah sangat membebani keuangan Negara. "Pemerintah terus menganggarkan APBN ke bank yang terkait BLBI, walaupun kita juga tahu bank itu kondisi keuangannya sudah sehat dan sangat baik," jelas Badiul.
Asal ada niat, moratorium bukan hal yang susah, meski demikian setidaknya harus ada kajian komprehensif baik dari sisi ekonomi, hukum, dan politik. Dan yang tidak kalah penting lanjutnya, adalah keberanian dan ketegasan pemerintah untuk menghentikan pembayaran beban obligasi rekap BLBI. "Kita tahu pajak rakyat memiliki kontribusi besar terhadap keuangan negara, jika kemudian digunakan buat bayar beban obligasi rekap BLBI pemerintah berlaku tidak adil pada rakyat kecil," kata Badiul.
Pengamat Ekonomi, Mamit Setiawan, mengatakan di tengah kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian maka terobosan-terobosan untuk menyehatkan anggaran harus diambil. Salah satunya menghentikan pembayaran utang yang tidak semestinya ditanggung negara.