RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk para korban.

Pelecehan seksual selalu mendengung di tengah-tengah masyarakat. Reaksi akan bermunculan saat ada kejadian. Tapi setelahnya lenyap tanpa penyelesaian. Hollaback! Jakarta, Lentera Sintas Indonesia, perEMPUan, dan Jakarta Feminist Discussion Group menginisiasi survei pelecehan seksual di ruang publik untuk mengidentifikasikan solusi penyelesaian. Siulan yang dilontarkan pemuda pada gadis yang tengah melintas, lontaran kata-kata bernada cemooh maupun sentuhan fisik merupakan sekelumit pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat, khususnya ruang publik.

Entah terlalu sering bergulir atau tidak adanya keberanian melawan, lama-lama tindakan tersebut dianggap biasa dan normal terjadi di masyarakat. Korban yang dirugikan hanya mampu diam, terlebih jika tidak mendapat dukungan. Dalam momentum 16 Hari Aktivisme Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang dimulai pada 25 November, sejumlah gerakan terhadap pelecehan seksual melakukan survei pelecehan seksual di masyarakat.

"Mengapa bikin isu di ruang publik. Karena isu tersebut sering dinormalisasikan oleh masyarakat," ujar Anindya Restuvianti, Co Director Hollaback Jakarta pada Press Briefing: Survei Pelecehan Seksual Di Ruang Publik, di Jakarta. Sampai dengan 27 November 2018, ada 50.000 orang yang berpartisipasi mengisi survei yang termuat di laman www.change.org/ lawan pelecehan. partisipasi masyarakat menunjukkan seringnya pelecehan terjadi di masyarakat.

Sebanyak 45 persen responden (perempuan dan laki-laki) pernah mengalami pelecehan di ruang publik, seperti siulan maupun komentar tak pantas. Survei beruya menggugah kesadaran masyarakat tentang bahaya pelecehan seksual di masyarakat. Selain itu, survei akan menjadi sarana advokasi untuk pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena selama ini, korban tidak pernah mendapatkan keadilan.

Pelecahan seksual menjadi masalah yang membutuhkan perhatian bersama, baik masyarakat, lembaga swadaya maupun pemerintah. Karena, masalah yang tidak diselesaikan dengan hukum yang akan akan memberikan peluang pelaku semakin merajalela. Bahkan dengan berkembangan teknologi memunculkan cara baru.

"Banyak perempuan sampai mau bunuh diri karena foto telanjangnya diviralkan, ini tren anak milenial," ujar Mariana Aminuddin, Ketua Sub Komisi Hollaback! Jakarta, Lentera Sintas Indonesia, perEMPUan, dan Jakarta Feminist Discussion Group menginisiasi survei pelecehan seksual di ruang publik untuk mengidentifikasikan solusi penyelesaian.

Partisipasi Masyarakat, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Karakter perempuan telah terbunuh. Akibatnya, mereka tidak dapat bekerja atau kuliah karena sudah dicemarkan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk para korban. Karena, KUHP sebagai payung hukum yang digunakan kepolisian tidak dapat memberikan keadilan pada korban.

Sampai saat ini, draf rancangan undang undang masih menunggu pengesahan di DPR. Meskipun hukum di dalam negeri masih lemah dalam tahap implementasi tidak menyurutkan pengesahan RUU tersebut. din/E-6

Faktor Rasa Superior Pembawa Petaka

Pelecehan seksual selalu meninggalkan rasa geram, sakit hati bahkan sampai bunuh diri. Pelecehan yang terjadi dari masa ke masa seolah tidak pernah usai. Lalu mengapa pelecehan bisa terjadi? Ada penilaian bahwa rasa superior menjadi pemicu terjadinya pelecehan seksual. Kebutuhan pengakuan diri yang tidak terakomodir secara positif memunculkan para predator-predator pelecehan seksual di masyarakat. Mereka ingin menampakkan superiornya dihadapan kelompok. Hal tersebut masih ditambah dengan, budaya patriarki yang terlalu melekat di masyarakat.

"Pelaku kekerasan melakukan atas dasar solidaritas kelompok maupun geng, jadi mereka ingin melakukan karena mereka ingin direspek oleh anggota itu atau mereka ingin kelihatan superior," ujar Olin Monteiro, pengurus Jakarta Feminist Discussion Group, sebuah komunitas yang memperjuangkan hak perempuan dan kelompok marginal. Dalam kajian feminism disebutkan ada beberapa fakta yang menyebabkan pelecehan seksual.

Fakta-fakta tersebut melingkupi otoritas maupun otonomi. Unsur-unsur yang terlanjur melekat dan dianggap biasa oleh masyarakat. Otoritas diterjemahkan sebagai perilaku yang tidak seimbang antara pelaku dan korban. Olin mengatakan kondisi tersebut bisa dimaklumi mengingat budaya patriarki erat kaitannya dengan maskulinitas. Dalam pelecehan seksual, patriarki bersifat sangat toksik atau beracun. Mereka melakukan perbuatan tersebut sebagai exercise. "Sebagai kekuatan dia dari korban yang dianggap lemah," ujar dia. Sedangkan dalam masyarakat sendiri, perempuan masih dipandang sekedar objek.

Mereka dihargai karena badannya, kecantikannya maupun penampilannya. "Bahwa itu adalah hal yang biasa di masyarakat untuk mengobjektifkan perempuan," tambah dia. Terkait dengan otonomi, Olin mengatakan perempuan Indonesia masih memilih masalah dengan otonomi tubuhnya. Umumnya, perempuan masih melihat pandangan orang lain tentang tubuhnya. "Tubuh perempuan masih ditentukan oleh konstruksi sosial," ujar dia.

Wanita yang berkerudung dianggap sebagai perempuan baik dan sholehah. Sedangkan, jika perempuan mengadu disuitin laki-laki iseng. Mereka malah disalahkan karena pakaian minim atau mengundang. "Ada otonomi yang tidak pernah selesai," ujar wanita berambut panjang ini.

Persoalan lainnya adalah masalah mobilitas dan keamanan. Banyak sekali pelecehan seksual yang terjadi di jalanan, transportasi umum maupun kantor. Kondisi tersebut dapat membatasi gerak dan mengurangi mobilitas perempuan untuk beraktifitas di luar rumah. Pasalnya, mereka dihinggapi perasaan tidak aman.

Pelecehan seksual yang kadang dianggap biasa dapat membawa dampak luar biasa. Sebuah penelitian di luar negeri menyebutkan, pelecehan seksual merupakan satu langkah menuju kekerasan seksual yang lebih besar, seperti perkosaan. Karena, pelaku akan terus mencari korban untuk dilecehkan dan diserang. din/E-6

Menciptakan Ruang Aman untuk Berbagi Cerita

Sudah jatuh tertimpa tangga, barangkali peribahasa tersebut sesuai untuk korban pelecehan seksual. Selain menjadi korban, mereka kerap kebingungan untuk mendapatkan dukungan. Orang terdekat bahkan keluarga lebih sering menyalahkan ketimbang memerikan dukungan. Pelecehan masih menjadi aib sehingga korban maupun masyarakat cenderung menutupi ketimbang mencari solusi.

Anindya Restuviani, Co Director Hollaback! Jakarta, sebuah gerakan global untuk mengakhiri pelecehan di ruang publik mengatakan masyarakatlah yang dapat menolong para korban. "Oleh karena itu, kita perlu menciptakan diri sebagai ruang aman jika ada yang ingin bercerita," ujar dia.

Gerakan yang membuat platform sebagai ruang bercerita mengatakan berbagai lembaga seperti Komnas Perempuan, LBH Apik maupun komunitas yang berkonsentrasi pada pelecehan seksual dapat menjadi ruang bercerita para korban. Sementara, perEMPUan, komunitas yang berfokus pada pemberian informasi mengenai pencegahan dan penangan kekerasan seksual mengeluarkan booklet untuk menolong para korban maupun orang-orang disekitarnya.

Booklet tersebut memberikan informasi untuk para korban yang baru mengalami pelecehan supaya segera keluar dari masalah. Informasi yang ditampilkan berupa korban diminta segera meninggalkan tempat kejadian perkara, mencari keramaian, hubungi orang yang terpercaya untuk bercerita. "Dengan bercerita, trauma akan berkurang," ujar Rika Rosvianti, pengurus perEMPUan. Informasi pelecehan seksual akan meluas pada tentang tempat kejadian perkara maupun pelaku.

Mariana Amaruddin, Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat, Komnas Perempuan selalu membuka lembaga untuk para korban pelecehan seksual. Mereka bisa bebas bercerita di tempat tersebut. Untuk memancing para korban, biasanya dia akan memberikan segelas air putih pada korban agar lebih tenang.

Setelah tersenyum, korban bisa ngobrol segala hal termasuk anak maupun belanjaan. "Pada dasarnya perempuan akan faight. Dia akan survive kalau didukung," ujar dia. Olin Monteiro, pengurus Jakarta Feminist Discussion Group mengatakan pertolongan para korban melibatkan seluruh lapisan, termasuk pemerintah.

Dia lebih menyoroti pemerintah untuk memasukkan penyadaran pendidikan seksualitas dan HAM (Hak Asasi Manusia) masuk ke pendidikan formal. "Harus masuk ke pendidikan formal. Ini nggak akan selesai dengan gerakan yang dilakukan para aktifis," ujar dia. Karena masalah pelecehan seksual adalah masalah bersama. din/E-6

Baca Juga: