Judul : Kebohongan di Dunia Maya
Penulis : Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono
Tebal : xvi + 166 halaman
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Pertama, 2018
ISBN : 978-602-424-868-0
Belakangan ini, berita bohong (hoaks) dan berita palsu (fake news) semakin merajalela. Pembuat, penyebar, dan konsumennya bahkan melibatkan orang-orang terdidik. Dampaknya, kehidupan sosial menjadi kacau. Harmoni dan kesatuan masyarakat terancam. Ancaman ini kian nyata jika melihat data Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2018. Isinya, penanganan konten negatif seperti hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian tahun 2017 meningkat sembilan kali lipat dari tahun sebelumnya.
Buku ini membedah fenomena hoaks yang menjamur di Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Uraiannya ringkas, kaya data, memberi pemetaan dan solusi konkret. Apalagi kedua penulisnya berpengalaman di berbagai jabatan di instansi kepolisian dan saat ini bekerja di Badan Intelijen Negara (BIN).
Hoaks muncul bersamaan dengan kemarakan media baru di jagat maya khususnya media sosial. Platform media baru ini mendorong berkembangnya budaya partisipasi yang tidak saja menempatkan masyarakat sebagai konsumen teknologi, tetapi juga produsen konten sesederhana apa pun di dunia internet. Melalui media sosial inilah hoaks pada khususnya menyebar dengan cara yang cukup mudah dan murah, tanpa biaya. Mudah, karena pengguna media sosial terus meningkat.
Pola produksi berita hoaks pada dasarnya masih memanfaatkan media arus utama. Para pembuat hoaks mengamati berita yang berpotensi menimbulkan kontroversi. Dia lalu meramunya dengan fiksi dibumbui SARA dan ujaran kebencian. Dia hanya mengganti judul (kadang juga gambar) dengan gaya bombastis dan provokatif.
Mesin penyebaran hoaks melalui media sosial menggunakan beberapa strategi, di antaranya membuat akun-akun anonim dan mengikuti situs-situs sumber hoaks. Dia lalu membagikan berita-berita hoaks tersebut ke jaringan pertemanannya. Pengelola akun anonim ini membidik jaringan pertemanannya yang gemar membagikan postingan hoaks untuk diteruskan pada kelompok pertemanan masing-masing.
Penyebaran hoaks kadang juga memanfaatkan pengamat politik atau politisi yang memiliki kesesuaian sikap politik dengan muatan hoaks. Mereka secara sadar atau tidak didorong untuk dapat dijadikan mesin viralisasi. Penyebaran hoaks terutama dilatarbelakangi motif ekonomi dan politik. Situs-situs penyebar hoaks terbukti dapat meraup keuntungan besar dari iklan. Situs postmetro.co, misalnya, memperoleh pendapatan iklan 25 hingga 30 juta rupiah per bulan dengan memproduksi sekitar 80 berita palsu.
Sementara itu, portalpiyungan.co diperkirakan memperoleh penghasilan 379 dollar AS per tahun dari iklan. Sedangkan seword.com meraih 854 dollar AS per tahun. Secara politik, berita hoaks untuk menyerang lawan, menebar kebencian, dan meningkatkan rasa percaya diri. Ada juga untuk kepentingan personal branding.
Di sini, dapat melihat hoaks sangatlah mengancam kehidupan demokrasi. Saat ruang publik dikotori berita-berita palsu, masyarakat dapat digiring pada sikap tertentu dengan lebih mengandalkan sentimen emosional dan mengabaikan nalar sehat. Di sisi lain, hoaks juga memperlihatkan cara-cara tidak sehat dan tidak bermoral untuk meraih pengaruh kekuasaan.
Menghadapi fenomena hoaks, buku mengajukan solusi dengan pendekatan reflexive security dengan melibatkan unsur negara, pasar, dan masyarakat. Negara harus memperkuat aturan dan perangkat terkait pemberantasan hoaks seperti sanksi atas laman pembuat dan penyebar hoaks.
Pasukan siber pemerintah juga harus lebih berdaya dan sigap. Selain itu, korporasi atau pelaku pasar seperti yang terkait sumber iklan yakni Google dan Facebook, harus didorong agar dapat bekerja sama baik dalam menghentikan iklan pada sumber-sumber hoaks maupun penyaringan informasi. Masyarakat perlu terus didorong untuk kritis dan aktif memerangi hoaks.
Diresensi M Mushthafa, Dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep, Jawa Timur