JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, hari ini (12/4), diperkirakan melemah lanjutan dari penutupan perdagangan pada akhir pekan lalu. Kenaikan imbal hasil atau yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) diprediksi bakal menjadi sentimen positif bagi dollar AS sehingga kurang menguntungkan bagi rupiah.

Data inflasi dua raksasa ekonomi dunia, AS dan Tiongkok menunjukkan peningkatan pada Maret lalu. Kondisi tersebut berpotensi mengangkat kembali imbal hasil US Treasury bertenor 10 tahun. Kenaikan tersebut akan mendorong investor berburu dollar AS.

Pada akhir perdagangan Jumat (9/4) waktu New York, AS atau Sabtu (10/4) pagi WIB, indeks dollar AS, yang mengukur greenback terhadap sekeranjang enam mata uang utama saingannya, naik 0,10 persen menjadi 92,163.

Imbal hasil obligasi AS saat ini berada di level 1,67 persen dari sebelumnya di posisi 1,63 persen. Untuk prospek pada pekan ini, pergerakan rupiah masih akan dipengaruhi imbal hasil (yield) obligasi AS, rilis data penjualan ritel AS, data inflasi, data PDB Inggris dan Tiongkok.

Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin menilai hal-hal tersebut, kemungkinan besar akan membuat rupiah berfluktuasi secara signifikan, ditambah lagi pasar berekspektasi terhadap pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat. "Ini masih menjadi sebuah kekhawatiran pasar terhadap pemburuan yield obligasi AS yang masih akan terus terjadi karena ekspektasi pemulihan ekonomi," ujar Nanang.

Nanang menambahkan, rupiah berpeluang melemah lagi pada pekan depan seiring pemulihan dollar AS setelah mengalami tekanan dalam dua pekan terakhir. "Rentang harga 14.650-14.680 rupiah sebagai area resisten pertama dan kedua. Sedangkan bottom 14.530-14.490 rupiah," kata Nanang.

Kurs rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada akhir pekan ditutup melemah dipicu kembali naiknya imbal hasil (yield) obligasi AS. Rupiah ditutup melemah 30 poin atau 0,21 persen dari sehari sebelumnya menjadi 14.565 rupiah per dollar AS.

Baca Juga: