"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Bung Karno

Untuk mengingatkan kembali betapa sulitnya para pahlawan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan cobalah mengunjungi museum. Misalnya mengunjungi Museum Mandala Wangsit Siliwangi.

Menyambangi museum yang dikelola Kodam III Siliwangi ini setidaknya akan mengingatkan kembali bahwa perjuangan untuk merdeka sangat sulit, namun lebih sulit mempertahankan kemerdekaan.

Bangunan ini memiliki gaya arsitektur Late Romanticism yang dibangun pada masa kolonial Belanda kurun 1910-1915 sebagai tempat tinggal perwira Belanda.

Dalam perang kemerdekaan, akhirnya tempat ini diambilalih pasukan Siliwangi dan digunakan sebagai markas Divisi Siliwangi (Militaire Akademi Bandung) pada 1949-1950 setelah kemerdekaan. Pada 23 Mei 1966 bangunan ini dijadikan Museum Mandala Wangsit Siliwangi yang diresmikan Panglima Divisi Siliwangi ke 8 yaitu Kolonel Ibrahim Adjie.

Pada 1979 gedung ini direhabilitasi kembali menjadi gedung bertingkat dua, kemudian diresmikan pada 10 November 1980 oleh Pangdam Siliwangi ke 15 Mayjen Yoga Sugama dan prasastinya ditandatangani Presiden Soeharto.

Bangunan ini berdiri di atas tanah seluas 4.176 meter2 dengan luas bangunan 1.674 meter2. Koleksi Museum adalah benda-benda yang digunakan pasukan Kodam Siliwangi, dari senjata primitif seperti tombak, panah, keris kujang, dan bom molotov, sampai dengan senjata modern seperti panser rel, meriam, dan kendaraan lapis baja.

Mandala Wangsit sendiri berarti sebuah tempat untuk menyimpan amanat, petuah atau nasihat dari pejuang masa lalu kepada generasi penerus melalui benda-benda yang ditinggalkannya.

"Halo-halo Bandung...ibukota periyangan. Halo-halo Bandung Kota kenang-kenangan..." demikian dinyanyikan oleh salah seorang pengunjung kecil yang sempat mampir ke museum. Ia kagum dengan koleksi museum dan menyatakan senang. Syair lagu Halo-halo Bandung dipajang di bagian akhir dari ruangan museum ini. Dibacanya sambil dilagukan.

"Baru pertama lihat museum banyak senjata, senang sekali," ujar anak perempuan kelas empat Sekolah Dasar itu yang datang bersama adik dan ayahnya belum lama ini di Museum Mandala Wangsit Kota Bandung.

Sebagian Besar Koleksi Asli

Museum ini memiliki dua lantai, di mana lantai pertama dan kedua penuh koleksi senjata, foto dan benda peninggalan para pahlawan dari lingkup Jawa Barat, baik saat perang kemerdekaan, maupun berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan.

Pintu masuk museum ada di bagian dalam agak ke belakang dari bangunan tersebut. Pengunjung hanya mengisi daftar hadir untuk bisa melihat isi museum. Karena memang tidak ada karcis masuk. Namun pengunjung dapat memberikan uang kerahiman kepada pengurus museum, sekedar untuk biaya pemeliharaan.

Setelah menandatangani daftar tamu, seorang pengurus museum akan mengarahkan pengunjung untuk masuk ke bagian museum dari pintu samping yang dipagari besi. Memasukinya, pengunjung akan langsung tertarik dengan beduk kayu tua yang sudah tidak ditutupi kulit. Rupanya beduk itu merupakan salah satu instrumen untuk mengumpulkan masyarakat khususnya santri pejuang saat dibutuhkan. Namanya Beduk Simarame. Sementara di sekitar beduk terdapat senjata tradisional yang digunakan tokoh dan ulama saat berperang melawan Belanda. Seperti golok panjang, atau parang.

Lalu terlihat pula baju kurung dan sorban yang menjadi kenangan dari seorang ulama di Tasikmalaya. Benda ini asli bukan replika. Sementara di sekitarnya juga terdapat pedang dari bambu. Yang menurut catatan museum, digunakan ulama tersebut dalam berperang melawan Belanda.

Detik-detik Proklamasi kemudian akan dapat disaksikan pengunjung di bagian berikutnya. Sebuah meja yang merupakan meja aslinya, digunakan Soekarno dan Bung Hatta serta para pemuda pada tanggal 16 Agustus 1945, atau sehari sebelum Proklamasi.

Pada 17 Agustus saat Proklamasi Kemerdekaan dibacakan, di seluruh Indonesia, para tokoh daerah pun ikut mengibarkan merah putih. Salah satunya di Kota Bandung. Sebuah bendera merah putih, yang warnanya sudah lusuh dipajang tidak jauh dari diorama meja.

Dari catatan museum, bendera itu merupakan bendera yang dikibarkan 17 Agustus 1945 di Balaikota Bandung, oleh D. Suprayogi, pimpinan tertinggi Bandung saat itu.

Setelah merdeka, rupanya perjuangan belum berakhir. Museum ini kembali menggambarkan perjuangan melawan agresi militer Belanda kedua di kawasan Bandung. Sejumlah peninggalan prajurit dipajang. Misalnya sebuah helm perang dari besi baja yang tertembus peluru, namun prajurit itu masih hidup, karena ternyata kepalanya tidak tembus peluru. Demikian tertulis dalam keterangan museum.

Diorama perang dengan bangsa sendiri juga ditampilkan dimana prajurit TNI ikut mempertahankan kemerdekaan dari pemberontakan PKI. Hingga naik ke lantai dua, pemberontakan lainnya seperti RMS dadn kekejaman Westerling dengan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) ikut dipajang. Namun TNI berhasil menumpas pemberontakan tersebut, meski dengan korban jiwa yang tidak sedikit. tgh/R-1

Dijadikan Nama Jalan

Museum Mandala Wangsit Siliwangi terletak di Jalan Lembong. Lembong, diambil dari nama Letkol Lembong, salah satu prajurit Siliwangi yang menjadi korban dalam Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (Apra).

Selama ini, cerita Lembong sebelum terbunuh di Bandung tak terdengar sama sekali. Masyarakat hanya tahu Lembong korban APRA Westerling. Catatan resminya bahkan diarsipkan oleh intel Belanda, Netherland Forces Intelligence Service (NEFIS). Arsip ini bisa ditemukan di Arsip Nasional Belanda di Amsterdam. Judulnya, Laporan kegiatan gerilya Adolf Lembong (Letnan Satu LGAF USAFFE) Agustus 1943 hingga April 1945.

Sebelum jadi tawanan Jepang, Adolf Gustaaf Lembong adalah operator radio KNIL dengan nomor registrasi 41642. Lembong asal Minahasa. Bersama kawan-kawannya yang ikut ditawan, Lembong dijadikan heiho (pembantu tentara). Sempat ditugaskan di Philipina.

Setelah perang dunia, Lembong kembali ke Indonesia dan bergabung dengan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Pada 1947, KRIS dan beberapa organisasi lain diintegrasikan dengan Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada 1948, TRI menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Lembong diangkat sebagai Komandan Brigade XVI. Pada waktu Agresi Militer Belanda II, Lembong sempat ditangkap pasukan Belanda di Yogyakarta dan dipenjarakan di Ambarawa.

Catatan sejarah dan peninggalan perang otentik para pahlawan ini banyak dimiliki Museum Mandala Wangsit Siliwangi ini. Namun demikian, pengunjung yang datang jumlahnya masih minim, jika dibandingkan dengan museum lain di Bandung, misalnya Museum Geologi atau Sribaduga.

Meski sedikit, namun sejarah yang terpajang disini cukup penting diketahui khususnya oleh generasi muda, untuk semakin bisa memaknai perjuangan pahlawan dalam mempertahankan kemederkaan. tgh/R-1

Baca Juga: