Oleh Prof Dr H Nur Syam, MSi

Rasanya baru saja kita melaksanakan hari raya kurban atau Idul Adha. Rasanya juga baru saja pelaksanaan ibadah haji itu berlangsung. Akan tetapi, ternyata penyelenggaran haji dan ibadah kurban tersebut telah berlangsung setahun yang lalu.

Terasa cepat memang perubahan dari hari ke hari menjadi bulan lalu tahun. Setahun sudah ibadah kurban dirayakan dan sekarang dilaksanakan hari raya kurban untuk 1438 H. Berkurban adalah tradisi ibadah di dalam agama-agama Semitis. Ibadah kurban pertama kali dilakukan Ibrahim alaihis salam yang diyakini oleh umat Islam dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah, tepatnya pada tanggal 11 Dzulhijjah.

Keyakinan ini tentu merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam yang memang menganjurkan umatnya untuk berkurban seekor binatang yang dihalalkan untuk dikurbankan. Kisah tentang kurban tentu tidak terlepas peristiwa Ibrahim (Al Quran, Surat As-Shaafat (37), Ayat 102). Tadinya dia diminta mengorbankan anaknya, tapi akhirnya pengorbanan diganti dengan seekor domba.

Tentu tidak mudah baginya untuk memenuhi perintah Allah. Bagaimanakah perasaan seorang bapak harus mengorbankan putra satu-satunya untuk memenuhi keyakinan beragamanya. Tentu ada pertentangan batin yang sangat luar biasa. Tentu terjadi kegundahan di antara memenuhi perintah dan mempertahankan yang dicintainya di dunia ini.

Gangguan terhadap keyakinan pun terus berlangsung. Setan mengganggu agar tidak menuruti perintah yang dianggapnya bertentangan dengan logika, cinta, dan kasih sayang tersebut.

Tetapi, melalui petunjuk dan untuk membuktikan bahwa Allah mencintai hambanya yang pasrah, kurban diganti seekor domba. Subhanallah. Peristiwa pengorbanan ini menjadi monumen keberagamaan yang dilestarikan Islam, sebagai agama yang menjunjung tinggi tradisi berkurban.

Bahkan, seluruh peristiwa ibadah haji merupakan monumen historis keberagamaan Ibrahim. Peristiwa kurban itu memiliki akar historis yang sangat kuat dan ditradisikan secara luar biasa oleh umat Islam.

Menguat

Dewasa ini, masyarakat kita sedang memasuki era semakin menguatnya egoisme dan keinginan memenangkan dan membenarkan diri sendiri. Sebuah era di mana orang memanjakan dirinya dengan egoisme yang tidak terkontrol. Semua serba-aku. Tidak ada yang lain, kecuali aku.

Tidak ada yang benar, kecuali aku. Tidak ada yang hebat, kecuali aku. Semua serbakeakuan. Aku lebih tinggi dari semua yang ada di dunia ini. Dampaknya ialah orang menjadikan dirinya sebagi pusat segalanya. Hal seperti ini sebenarnya ialah penyakit manusia modern, yang terlepas dari kemauan "berkurban" untuk orang yang lain.

Manusia yang satu bisa menjadi serigala bagi lainnya. Manusia memiliki penyakit baru secara psikhologis yaitu "penyakit tega". Ini sebuah tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama dan juga filsafat hidup Orang Jawa yang menyatakan tego larane ora tego patine. Masih bisa diterima kalau hanya sakit, tapi tidak bila meninggal. Artinya, jika yang dilakukan itu akan menyebabkan seseorang mati, hal itu tidak akan dilakukannya.

Islam telah mengajarkan agar kita saling mencintai. Diibaratkan bahwa kehidupan ini seperti bangunan yang saling menguatkan. Antara satu dan lainnya itu saling membutuhkan. Makanya harus saling membantu dan menolong. Hal ini juga senada dengan filsafat kehidupan Orang Jawa, lir kadyo godhong suruh, diwolak-walik ginigit podho rasane.

Kehidupan antarmanusia itu layaknya daun sirih dibolak-balik kalau digigit rasanya sama saja. Saya kira masyarakat Indonesia seharusnya memiliki falsafat hidup seperti ini. Manusia Indonesia sudah selayaknya meninggalkan egoisme atau keakuan ini.

Masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang religius tentu saja seharusya berada di dalam koridor untuk membangun kebersamaan dan bukan keakuan. Semestinya mengedepankan kekitaan dan bukan keakuan. Kita boleh hidup di zaman modern dengan segala pernak-perniknya, akan tetapi sikap dan pandangan hidup kita tidak boleh berubah yang biasanya mengedepankan "kekitaan," lalu berubah menuju "keakuan."

Berkaca pada tindakan Ibrahim alaihis salam yang mematuhi perintah daripada mengedepankan keegoannya, maka tradisi berkurban terus lestari hingga sekarang. Seandainya dia lebih memilih egonya, maka dipastikan tradisi berkurban tentu tidak akan ada.

Oleh karena itu, hakikat hari raya kurban, sesungguhnya ialah mengorbankan egoisme kemanusiaan untuk menuju kepada kepasrahan hanya kepada Allah dalam membangun kebersamaan. Dan dampak yang bisa dilihat ialah pengorbanan berupa hewan untuk memberikan kesenangan kepada orang lain, terutama kaum mustad'afin.

Jadi, hakikat kurban yang sebenarnya ialah membangun semangat untuk mengalahkan egoisme atau keakuan untuk menuju ke semangat kebersamaan atau kekitaan. Hari raya kurban akan memiliki makna signifikan jika kita semua justru mengedepankan semangat kebersamaan untuk membangun Indonesia yang memiliki kebinekaan itu. Wallahu a'lam bi al shawab.

Penulis Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama

Baca Juga: