Di tengah sumbangsih positif sektor pertanian terhadap angka kemiskinan, kesejahteraan petani masih menjadi tanda tanya.
JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan apabila Indonesia hendak mencapai swasembada pangan, sangat penting memberi ruang yang luas kepada para petani agar meraup keuntungan yang layak dari hasil produksi.
Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, di Jakarta, pekan lalu, mengatakan siapa pun yang diberi ruang untuk untung maka akan produktif. "Tapi kalau rugi maka akan mengeluarkan air mata dan jera untuk berproduksi. Itu logis," kata Amran.
Menanggapi pernyataan Mentan, Guru Besar Fakultas Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan petani itu sosok pelaku pasar yang pintar sehingga jika harga gabah memberi keuntungan bagi petani, pasti para petani dengan sendirinya akan meningkatkan produksinya.
"Selama ini pemerintah selalu menekan harga gabah petani, padahal harga barang-barang lain yang dibutuhkan petani selalu meningkat sehingga kesejahteraan petani selalu tertinggal," katanya.
Menurut Dwijono, pemerintah melalui Badan Pangan Nasional sebaiknya bisa menentukan perbandingan harga petani dan harga barang lain yang berimbang sehingga petani juga menikmati kesejahteraan dari produksi yang dihasilkan.
"Hentikan upaya untuk selalu menekan harga petani, sementara harga yang dikonsumsi petani terus dibiarkan meningkat," kata Dwijono.
Sementara itu, Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi, menuturkan cara memperhatikan petani ialah ada jaminan pasar dengan harga yang layak.
"Itu perlu didukung dengan menjaga stabilitas pasar," kata Qomar.
Semua itu, lanjut Qomar, didukung dengan reforma agraria guna mengatasi masalah kesenjangan lahan, dan keterbatasan lahan petani. Usaha tani pun bisa diselenggarakan sebagai usaha yang terpenuhi skala ekonominya dan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) petani. Selanjutnya dalam hal teknis, yaitu kelembagaan dan jaringan petani, terutama kapasitas untuk menyelesaikan permasalahan keseharian petani, terkait penyediaan saprodi, teknis budi daya, pascapanen, dan pemasaran.
Pangan, kata Qomar, adalah kebutuhan pokok manusia. Karena itu, petani sebagai produsen pangan tentu menjadi profesi yang penting untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dan swasembada pangan.
Untuk memastikan keuntungan bagi petani, mereka harus memiliki akses ke sumber daya lahan, benih, air, pengetahuan dan teknologi, penghidupan yang layak, tempat tinggal yang nyaman, berserikat berkumpul dan berorganisasi, dan hak-hak yang lain.
Lebih lanjut, Mentan pun menargetkan Indonesia bisa kembali swasembada beras dan sama sekali tidak mengimpor beras pada dua hingga tiga tahun mendatang atau maksimal pada 2026.
Menurut Amran, Indonesia pernah swasembada pada 2017, sehingga ia optimistis bisa kembali terwujud dengan membangun fondasi kebijakan dari sekarang.
Masih Tanda Tanya
Sebelumnya, Bank Dunia dalam laporan "Indonesia Poverty Assessment" menyatakan sektor pertanian serta sektor jasa dengan nilai tambah rendah-seperti pekerja kios dan restoran, pekerja kebersihan, dan pedagang kaki lima-menjadi roda penggerak utama pengentasan kemiskinan. Sayangnya, di tengah sumbangsih positif sektor pertanian terhadap angka kemiskinan serta pertumbuhan ekonomi nasional, kesejahteraan petani masih menjadi tanda tanya.
Kegiatan pertanian yang cenderung bersifat padat karya (banyak menyerap tenaga kerja dengan upah rendah) juga memiliki produktivitas yang cenderung rendah.
Produktivitas yang rendah membuat 75 persen rumah tangga sektor pertanian dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan tidak mampu menyokong kebutuhan mereka dan keluar dari perangkap kemiskinan. Padahal, tenaga kerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor dengan tenaga kerja terbesar. Ada sekitar 28,6 persen angkatan kerja berkecimpung di sektor tersebut.
Berbagai kendala yang dihadapi dalam peningkatan produktivitas pertanian antara lain adalah kurangnya kualitas penyuluhan pertanian, keterbatasan akses pasar, dan kesenjangan infrastruktur. Ada juga masalah seperti kepemilikan lahan yang semakin kecil, kesulitan akses kredit, hingga biaya logistik pangan yang tinggi.