Debu luar angkasa berguna untuk pendinginan planet-planet, termasuk bumi. Sebuah studi tentang fosil meteorit menunjukkan bahwa tabrakan asteroid di kejauhan pernah membuat bumi berada di zaman es.

Sebuah studi yang dipimpin seorang fisikawan nuklir Lund University, Swedia, Birger Schmitz yang diterbitkan pada 2019, menemukan tabrakan asteroid purba yang jauh menghasilkan cukup debu untuk menyebabkan zaman es di bumi masa lalu.

Studi ini memberikan wawasan baru untuk upaya berkelanjutan guna mengatasi perubahan iklim. "Kami telah menunjukkan bahwa kejadian di tata surya dapat memiliki pengaruh besar di bumi," kata Kurator Meteorit pada Field Museum of Natural History di Chicago sekaligus penulis studi tersebut, Philipp Heck seperti dikutip The New York Times.

Heck menyatakan, peristiwa luar angkasa tidak selalu merusak. Banyak orang menganggap meteorit hanya sebagai pembunuh dinosaurus, namun juga sebaliknya. Tabrakan besar di sabuk asteroid memiliki konsekuensi konstruktif yang menyebabkan pendinginan dan munculnya keanekaragaman hayati.

Menurut dia, bumi sering terpapar materi luar angkasa. Sebesar 40.000 ton benda luar angkasa mengendap di planet ini setiap tahun, atau cukup untuk mengisi 1.000 bak truk trailer.

Pada 466 juta tahun lalu, asteroid selebar 93 mil bertabrakan dengan objek yang tidak diketahui dan bergerak cepat antara Mars dan Jupiter. Tabrakan itu meninggalkan jumlah debu yang sampai ke bumi hingga dua juta tahun ke depan.

Tim tersebut menemukan debu memicu pendinginan di atmosfer bumi yang menyebabkan zaman es. Dalam jumlah yang cukup, debu luar angkasa dapat mendinginkan bumi dengan menghalangi jumlah radiasi matahari yang mencapai permukaan.

Karena debu dari tabrakan asteroid menumpuk secara bertahap, pendinginan bumi terjadi juga secara bertahap. Hal ini memungkinkan tumbuhan dan spesies hewan beradaptasi saat permukaan laut turun dan suhu turun sebanyak 50 derajat Fahrenheit atau 10 derajat Celcius.

"Studi kami pertama kalinya menunjukkan bahwa debu asteroid benar-benar membantu mendinginkan bumi secara dramatis," kata Schmitz.

Ia mengatakan, bukti studi debu luar angkasa diperoleh dari sepotong batu kapur dengan fosil meteorit dan cangkang nautiloid dari periode pertengahan Ordovisium, ditemukan dari Kinnekulle, Swedia selatan. Studi fosil meteorit menemukan debu luar angkasa yang tertanam lama di bebatuan bumi.

Fosil pertama ditemukan di tambang batu kapur Swedia pada 1952. Namun fosil batu ini hanya disimpan ahli paleontologi yang tidak curiga dan tidak mengidentifikasi secara tepat selama 27 tahun berikutnya.

Pada 1979, ketika seorang ahli mineralogi menyadari asal muasal batuan dari luar bumi, dia mendorong pencarian sistematis di kawasan pertambangan tersebut. Selanjutnya para peneliti berhasil menemukan 130 meteorit selama dua dekade berikutnya.

Dari jumlah tersebut, Dr. Schmitz dan timnya menyimpulkan, 129 asteroid berasal dari pecahan asteroid yang sama. Meteorit lalu dianalisis untuk menentukan komposisi kimianya, dan tingkat paparan sinar kosmiknya untuk memastikan asal-usul serta menentukan kapan tiba di bumi.

Dengan menelusuri peningkatan meteorit dari isotop tertentu, para peneliti dapat menentukan debu luar angkasa mulai mencapai bumi sekitar 50.000 tahun setelah tabrakan asteroid. Zaman es di seluruh dunia dimulai kira-kira 10.000 tahun kemudian, selama Periode Ordovisium.

"Kami berbicara tentang perubahan kecil yang terjadi selama 2 juta tahun," kata Heck. "Jika kita dapat melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, itu tidak akan tampak sebagai bencana bagi kita. Itu akan lebih seperti dorongan lembut yang mengarah pada perubahan global dan memicu diversifikasi," jelas dia.

Baca Juga: