Perlu komitmen serius. Barangkali itu kalimat yang harus dicanangkan di benak setiap anak bangsa. Ini terutama sebagai tekad menjaga dan melestarikan, kalau tidak bisa mengembangkan, budaya adiluhung peninggalan nenek moyang.

Sebab tak bisa dipungkiri, anak-anak sekarang lebih gandrung dengan budaya digital yang dengan mudah ditemukan di smartphone. Apalagi orangtua juga "welcome" atas sikap anak-anak dengan menyediakan smartphone.

Tulisan ini berangkat dari keprihatinan setiap melihat pergelaran budaya yang dulu amat digandrungi, ditunggu, dan diserbu seperti wayang kulit, wayang orang, jathilan, ketoprak, atau tonil. Dulu setiap ada pertunjukan macam-macam kekayaan bangsa tadi selalu dijubeli penonton.

Tapi, kini tontonan seperti di atas nyaris bisa dihitung dengan jari penontonnya. Misalnya pada pergelaran wayang kulit di Babadan, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dalam rangka menyambut hari kemerdekaan, yang digelar Sabtu (17/8), penontonnya sangat sedikit.

Itulah yang dimaksud bahwa cukup berat upaya merawat warisan-warisan mahakarya para leluhur. Sebab, kalau tidak banyak penonton lalu menyerah, akan punah benar peninggalan-peninggalan tak ternilai tersebut

Komitmen Babadan

Untuk itu, masyarakat perlu mengapresiasi perangkat Dusun Babadan yang memiki komitmen tinggi terus menyelenggarakan kesenian tradional di tengah arus budaya global. Di bawah pimpinanan dukuh Suci T, yang didukung Lurah Wedomartani, Teguh, tokoh-tokoh Babadan pantang menyerah, juga ketika melihat tak banyak penonton dalam tiap pergelaran kesenian.

Lurah Teguh, terus mengingatkan, kalau tidak diselenggarakan pergelaran, lama-lama anak-anak tidak mengenal budaya sendiri. Itu benar. Anak dulu hafal dunia pewayangan. Anak sekarang sangat hebat kalau masih mengenal dunia pewayangan.

Acungan jempol buat tokoh dan masyarakat Babadan, tiap tujuh belasan senantiasa mengadakan pergelaran. Semoga mereka tidak lelah terus merawat kekayaan bangsa.

Perlu pemikiran digitalisasi wayang yang sesuai dengan kehendak anak-anak milenial. Ini tentu bukan tugas masyarakat Babadan, tetapi pemerintah pusat, daerah, hingga kecamatan, semua harus berpikir keras menghadirkan kesenian dalam wajah digital agar terus digandrungi anak-anak.

Sebab transformasi juga sudah tampak dari sisi "pelengkap" pertunjukan. Tak ada lagi pedagang makanan tradisional. Pedagang menjual makanan milenial seperti sosis goreng/bakar. Para penonton tak lagi duduk di tikar,tetapi disediakan bangku. Bahkan panitia menyediakan aneka makanan gratis untuk para penonton, tapi penonton tak kunjung hadir.

Semoga komitmen merawat warisan leluhur oleh masyarakat Babadan ini menyebar ke seantero nusantara. wid/E-3

Baca Juga: