Sagu berpotensi dikembangkan sebagai alternatif bahan pangan sumber karbohidrat utama karena Indonesia memiliki lahan sagu sebesar 5,5 juta hektare.

JAKARTA - Beras analog sagu bisa menjadi pangan utama pengganti beras, terutama saat terjadi kelangkaan. Hal ini bisa diwujudkan karena Indonesia memiliki lahan sagu sebesar 5,5 juta hektare yang berpotensi menghasilkan pati sagu sebanyak 34,3 juta ton.

"Untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri saat ini pemerintah mengupayakan pemenuhan pangan dari sumber alternatif. Sumber alternatif ini banyak, khususnya sagu, dan sagu berpotensi dikembangkan sebagai alternatif bahan pangan sumber karbohidrat utama," kata Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita, di Jakarta, Senin (25/3).

Seperti dikutip dari Antara, Menperin mengatakan selain bisa menjadi alternatif bahan pangan utama bagi masyarakat, beras analog sagu juga dinilai lebih sehat karena mengandung pati resisten (resistant scratch) yang tinggi, serta indeks glikemik atau cepat atau lambatnya unsur karbohidrat dalam bahan pangan untuk meningkatkan kadar gula darah dalam tubuh yang rendah, sehingga hal itu menurutnya baik untuk mencegah diabetes.

Lebih lanjut, Menperin menyampaikan untuk mewujudkan hal tersebut pihaknya selalu berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) terkait guna memenuhi kebutuhan suplai bahan baku.

"Jadi, kalau industri-industri sudah siap yang berkaitan dengan sagu, yang sekarang kita harus persiapkan lagi adalah hulunya dari suplainya, suplai bahan baku sagu," katanya.

Kerja Sama

Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, mengatakan tahun lalu pihaknya bekerja sama dengan beberapa industri besar yang merupakan produsen pati sagu nasional untuk meningkatkan utilisasi produksinya.

"Utilisasi produksi industri pati sagu nasional saat ini masih sangat rendah yaitu di bawah 30 persen. Hal ini sebagai dampak dari keterbatasan industri untuk memperoleh bahan baku empulur sagu," katanya.

Putu mengatakan pemerintah bekerja sama dengan industri pati sagu untuk mengembangkan model bisnis industri dengan menggunakan sagu basah produksi UMKM sebagai bahan baku di industri itu.

Pemanfaatan sagu basah UMKM dinilai mampu memperlambat proses oksidasi sehingga jangkauan bahan baku industri tersebut semakin luas, serta bisa memberikan nilai tambah pada petani sagu.

Putu mengatakan Kemenperin mendorong pengembangan sagu untuk diversifikasi pangan sumber karbohidrat sekaligus menjaga ketahanan pangan nasional. Sagu tepat untuk dijadikan produk diversifikasi, karena memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim dan cuaca.

"Pohon sagu dapat tetap tumbuh meskipun saat banjir ataupun pada saat masa kekeringan karena kemarau panjang, sehingga pohon sagu tidak terdampak fenomena alam seperti La Nina dan El Nino," ujarnya.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pihaknya mendorong pengembangan hilirisasi sagu di dalam negeri melalui dukungan peningkatan produksi pati sagu dan diversifikasi produk olahan pati sagu.

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menyebut program diversifikasi pangan Universitas Negeri Manado (Unima) merupakan wujud nyata kontribusi perguruan tinggi dalam mendukung ketahanan pangan nasional.

"Ini merupakan niat baik di sektor pertanian dan kampus bisa jadi center of excellence. Terlebih jika perannya terus dijalankan dengan baik," kata Moeldoko melalui siaran pers usai menerima kunjungan kerja Wakil Rektor Unima di Gedung Bina Graha, Jakarta.

Pada kesempatan tersebut, Moeldoko mengapresiasi peran Unima dalam pengembangan diversifikasi pangan, seperti jagung dan sorgum.

Unima telah menyiapkan lahan seluas 300 hektare untuk pengembangan diversifikasi pangan di kawasan kampus yang berada di Kelurahan Tonsari, Kecamatan Tondano Selatan, Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut).

Baca Juga: