Di pesisir pantai Aceh Besar yang menghadap Selat Malaka pernah menjadi bagian dari perdagangan antar bangsa sejak lama. Dahulu di sini berdiri Kerajaan Lamuri dengan komoditas penting berupa kapur barus.

Di pesisir pantai Aceh Besar yang menghadap Selat Malaka pernah menjadi bagian dari perdagangan antar bangsa sejak lama. Dahulu di sini berdiri Kerajaan Lamuri dengan komoditas penting berupa kapur barus.

Lokasi Kabupaten Aceh Besar berada di jalur pelayaran Selat Malaka yang menjadikan posisinya sangat strategis. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, masyarakatnya telah berinteraksi dengan berbagai bangsa seperti bangsa India, Tamil, dan Siam, Arab, termasuk dengan bangsa Tiongkok.

Salah satu peninggalan di Aceh Besar adalah Benteng Indrapatra yang berlokasi di Desa Baet, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jaraknya dengan pusat Kota Banda Aceh mencapai 24,5 kilometer melalui Jalan Raya Laksamana Malahayati.

Indrapatra merupakan sebuah benteng bersejarah di Aceh yang telah digunakan sejak era Hindu hingga era Islam. Oleh Kerajaan Lamuri, bangunan tersebut digunakan sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh ke wilayah Aceh sendiri dan juga dari negeri asing.

Lamuri adalah kerajaan tertua di ujung barat pulau Sumatra yang menjadi cikal bakal Kesultanan Aceh Darussalam. Para ahli menduga, kerajaan yang terletak di Lamreh, Aceh Besar, ini telah berdiri sejak abad ke-8 atau ke-9 masehi (M).

Menurut riwayat dalam sejarah Melayu menyebut Lamuri awalnya bercorak Hindu, kemudian diislamkan sesudah Kerajaan Samudera, sebelum Kerajaan Pasai berdiri. Dibandingkan dengan Kerajaan Samudera Pasai dan Aceh Darussalam yang usianya lebih muda, Kerajaan Lamuri kurang dikenal luas.

Kerajaan Lamuri kurang dikenal karena terkendala minimnya sumber sejarah yang dapat dijadikan rujukan bagi para sejarawan. Sejarah awalnya secara umum, didapat dari sumber-sumber sejarah berita atau catatan asing.

Catatan bangsa asing menyebut Lamuri memiliki banyak nama disesuaikan dengan bahasa yang dimiliki penuturnya, seperti Ramni, Lambri, Lamiri, Ilamuridecam, Lan-wu-li, dan Lanli. Sedangkan Hikayat Aceh mengeja Kerajaan Lamuri dengan l.m.ri.

Sementara itu berita tertua mengenai Lamuri berasal dari penulis-penulis Arab. Mereka adalah Ibnu Khordadhbeh (844-848 M), Sulaiman (955 M), Mas'udi (943 M), dan Buzurg bin Shahriar (955 M). Sementara berita Tiongkok yang paling tua berasal dari tahun 960 M, yang menyebut bahwa Lamuri menjadi tempat singgah utusan-utusan Persia yang menuju atau pulang dari Tiongkok.

Disebutkan juga, pada 1025 M, Lamuri telah menjadi daerah taklukan Kerajaan Sriwijaya yang bercorak Buddha. Hal ini sesuai dengan informasi yang didapatkan pada Prasasti Tanjore (1030 M), yang memuat laporan ekspedisi Rajendracola Dewa I.

Dari catatan Chau Yu Kwa (terbit pada 1225), dapat diketahui bahwa raja Lamuri beragama Hindu. Raja juga memiliki dua buah ruang penerimaan tamu di istananya, dan apabila bepergian akan diusung atau mengendarai seekor gajah. Di dalam Kitab Negarakertagama, disebutkan bahwa Lamuri telah menjadi negeri taklukan Majapahit.

Hubungan Lamuri dengan negeri asing terlihat dari temuan artefak. Pada ahli mengungkap Kerajaan Lamuri dulunya telah menjalin hubungan dagang dengan negeri-negeri asing, seperti Tiongkok, Vietnam, Thailand, India, serta negara di jazirah Arab.

Hubungan dagang dengan negeri asing tersebut didukung oleh letaknya yang sangat strategis yakni di Selat Malaka pada jalur perdagangan dunia di dunia kuno hingga sekarang. Dari berita-berita Arab, diketahui bahwa Lamuri adalah negeri penghasil kapur barus dan beberapa hasil bumi lainnya.

Dengan komoditas unggulan tersebut, maka tidak heran apabila Lamuri banyak disinggahi kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia yang untuk mendapatkannya. Penjelajah seperti Laksamana Cheng Ho, Marcopolo, dan sejumlah nama lain disebut pernah singgah di Lamuri.

Laksamana Cheng Ho dalam laporannya menyebut bahwa Lamuri dapat ditempuh tiga hari dan tiga malam dari Kerajaan Samudera Pasai. Sedangkan Marco Polo, yang tiba di Pulau Sumatra pada 1292, mengungkap bahwa Lamuri tunduk kepada Kaisar Tiongkok dan diwajibkan membayar upeti secara berkala.

Runtuhnya Kerajaan Lamuri pada akhir abad ke-15, ditandai dengan dipindahkan lokasinya dari Indrapatra ke Mahkota Alam (sekarang Kuta Alam). Perpindahannya salah satunya disebabkan oleh serangan dari Pidie yang berada di sisi timur.

Selain versi sejarah tersebut, berpandangan runtuhnya Kerajaan Lamuri karena bergabung dengan kerajaan lain agar menjadi lebih kuat. Tujuannya untuk melawan hegemoni bangsa Eropa khususnya Portugis yang menguasai perdagangan di Selat Malaka.

Sejak perpindahan itu, Lamuri lebih dikenal sebagai Kerajaan Mahkota Alam, mengikuti nama ibu kotanya. Sedangkan Kerajaan Aceh, yang saat itu berpusat di Darul Kamal, lebih dikenal sebagai Kerajaan Aceh Darul Kamal.

Kerajaan Mahkota Alam dengan Aceh Darul Kalam merupakan dua kerajaan yang tidak pernah rukun ini hanya dipisahkan oleh Krueng Aceh atau Sungai Aceh. Dalam Hikayat Aceh, diceritakan bahwa perseteruan dua kerajaan ini dapat diakhiri setelah Raja Syamsu Syah dari Kerajaan Makota Alam menjodohkan putranya, Ali Mughayat Syah, dengan putri Raja Darul Kamal.

Namun, ketika diadakan arakan untuk mengantarkan mas kawin, Darul Kamal diserang hingga menyebabkan para pembesar dan sultannya tewas. Alhasil, Sultan Syamsu Syah menjadi penguasa atas dua kerajaan.

Pada 1516, putranya, Ali Mughayat Syah, naik takhta dan memindahkan pusat kerajaannya ke Banda Aceh. Sejak saat itu, dua kerajaan yang disatukan tersebut dikenal dengan nama Kerajaan Aceh Darussalam.

Basis Pertahanan

Meski telah bergabung warisan dari Kerajaan Lamuri masih dapat dilihat berupa bangunan banteng meski beberapa diantaranya hanya dalam dalam bentuk reruntuhan. Ada dua benteng yang masih berdiri kokoh hingga sekarang di situs sejarah ini berupa banteng utama.

Benteng utama berukuran 70+70 meter dengan ketinggian 4 meter dan ketebalan sekitar 2 meter. Pada bagian lain juga terdapat lubang pengintai yang menghadap ke laut. Di dalam benteng terdapat dua bangunan yang berbentuk kubah, yang di dalamnya terdapat sumur.

Bahan bangunan banteng terdiri dari susunan batu gunung, kapur, tanah liat, kulit kerang, dan telur. Dengan bahan yang tidak biasa ini Benteng Indrapatra tergolong kuat, sehingga bangunannya masih berdiri kokoh sampai sekarang meski diterpa terik dan hujan.

Untuk memaksimalkan pertahanan dibuat parit di sekeliling bangunan, seperti yang dapat dijumpai di benteng-benteng di keraton kerajaan di Pulau Jawa. Di keraton-keraton Jawa parit keliling ini disebut jagang.

H M Zainuddin melalui bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara (1961) menyebut banteng Indrapatra adalah tempat untuk menyimpan alat-alat senjata perang seperti bedil, mesin pelor, meriam, dan lainnya. Benteng ini pernah direbut Sultan Iskandar Muda dari cengkraman Portugis. Masih pada masa pemerintahan sultan tersebut, benteng ini juga digunakan sebagai basis pertahanan dengan armada yang dipimpin oleh Laksamana Malahayati.

Saat ini Benteng Indra Patra berdiri di atas lahan yang cukup luas. di tempat ini sejauh mata memandang akan tampak rerumputan dan pohon hijau yang mengelilingi bangunannya. Semua tanaman tersebut menambah kecantikan tempat ini.

Berada di bawah pepohonan dengan tiupan angin dari arah laut menciptakan hembusan yang sepoi-sepoi yang sejuk. Tidak heran jika benteng tersebut banyak dijadikan tempat rekreasi keluarga khususnya pada akhir pekan dan hari-hari besar seperti Lebaran.

Lokasi benteng ini juga sangat strategis yang menghadap langsung ke arah pantai menambah kecantikan tempat ini. Di sini wisatawan bisa memanjakan mata dengan melihat air lautnya yang berwarna biru muda karena laut di Aceh Besar termasuk dalam golongan laut dalam.

Ada beberapa pohon kelapa yang menjadikan kawasan banteng ini terlihat semakin indah. Bagi penggemar foto, bangunan Benteng Indrapatra yang berwarna putih dan hitam cukup estetik untuk dijadikan objek foto atau latar belakang foto.

Untuk memasukkan pemandangan laut saat berfoto di benteng ini, kita bisa berada di bagian paling atas bangunannya. Hal ini akan menciptakan pemandangan kontras antara bentang dan pantai yang indah di Selat Malaka. hay/I-1

Baca Juga: