Portugis membuat kastil untuk menyimpan komoditas rempah-rempah di Negeri Hila di Pulau Ambon. Ketika Belanda berhasil merebut Maluku, bangunan ini diperluas menjadi benteng pertahanan dengan nama Benteng Amsterdam.

Setelah mengetahui Maluku sebagai kepulauan asal rempah-rempah yang menjadi komoditas sangat mahal ketika sampai di Eropa, Portugis langsung menuju ke sana. Sesampainya di Ambon selain berdagang, mereka juga berusaha memperkuat eksistensinya dengan mendirikan bangunan.

Di Negeri Hila (desa adat) mereka mendirikan bangunan gudang sekaligus pertahanan sebagai perlindungan dari serangan masyarakat pribumi. Tempat inimerupakan desa atau negeri yang terletak di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.

Letaknya di pesisir utara Pulau Ambon menghadapi Teluk Piru luas wilayahnya mencapai 76 kilometer persegi dan dibagi menjadi 3 dusun yaitu Mamua, Waitomu, dan Tahoku.

Pembangunan di Hila dilakukan Portugis pada 1512 di bawah pimpinan Francisco Serrão. Awalnya ia membangun sebuah bangunan loji atau kastil pertahanan. Banteng ini diberi nama Castel Vanveree. Selain untuk kepentingan pertahanan, bangunan ini juga digunakan sebagai tempat untuk menyimpan rempah-rempah.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Ambon merasa dirugikan oleh keserakahan Portugis dalam memperoleh keuntungan atas rempah-rempah di Nusantara. Akhirnya hingga pengujung abad ke-16, rakyat Maluku melakukan perlawanan terhadap Portugis.

Situasi ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menarik hati masyarakat Maluku dan menjejakkan riwayatnya di tanah Maluku. Ketika Pulau Ambon dikuasai oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 1605, secara otomatis kepemilikan bangunan ini menjadi milik VOC.

Sama fungsinya ketika masih berada di bawah Portugis, oleh VOC benteng ini dijadikan loji pertahanan. Pembangunan dilakukan oleh Gubernur Jenderal VOC Jaan Ottens pada 1637. Selanjutnya pembangunan diteruskan oleh Gubernur Jenderal VOC Anthoni Caan.

Pagar benteng kemudian diperbesar oleh Gerrard Demmer pada 1642 dan diselesaikan pembangunannya oleh Arnold de Vlamingh Van Oudshoorn pada 1649. Orang inilah yang menamakannya banteng tersebut dengan Fort Amsterdam atau Benteng Amsterdam.

Sama dengan Portugis, masyarakat tampaknya tidak puas dengan keberadaan mereka yang awalnya berdagang. Masyarakat Hitu akhirnya berperang dengan VOC pada 1633, yang disebut dengan Perang Hitu II.

Orang Hitu atau disebut juga Suku Hitu, adalah kelompok suku yang tinggal di lima wilayah desa di sepanjang pantai utara pulau Ambon yakni Wakal, Hila, Hitulama, Mamala, dan Morella. Daerah tersebut saat ini berada di Kecamatan Leihitu.

Selama Perang Hitu II yang dipimpin oleh Kapitan Kakiali ini, Belanda menjadikan Benteng Amsterdam sebagai benteng pertahanan yang sebenarnya.

"Rumah Kotak"

Benteng ini juga pernah pernah menjadi tempat tinggal seorang naturalis asal Jerman, Georg Eberhard Rumphius.

Rumphius mempelajari dan meneliti flora dan fauna yang ada di Pulau Ambon. Selama hampir 50 tahun tinggal di Pulau Ambon (1656-1702), Rumphius berhasil menyelesaikan beberapa buku dengan judulAmboinsch Kruid-BoekatauHerbarium Amboinensesebagai karya terbesarnya.

Bentuk Benteng Amsterdam mirip seperti kubus dengan atap dua tumpuk atap limas terbuat dari seng berwarna merah. Dengan namablock huisatau "rumah kotak", banteng ini memiliki tiga lantai pada bangunan utama dan dikelilingi oleh tembok keliling pada bagian luar.

Bangunan lantai satu, lantainya berupa bata merah. Sedangkan lantai dua dan lantai tiga berupa kayu yang ditopang oleh struktur dari kayu yang kuat. Bangunan benteng ini juga memiliki satu teras gantung pada bagian utara lantai dua dan satu menara pengintai pada bagian paling atas, serta ada dua anak tangga bagi pengunjung untuk naik turun.

Lantai satu, dua dan tiga digunakan sebagai tempat tinggal tentara Belanda. Lantai satu digunakan sebagai tempat tidur para serdadu, lantai dua untuk tempat pertemuan para perwira dan lantai tiga digunakan untuk pos pemantau.

Pada 1674, Pulau Ambon diguncang gempa bumi yang diikuti oleh gelombang tsunami. Daerah Hila dilanda kerusakan parah. Gempa kembali melanda Pulau Ambon 8 Februari 1845 tersebut berdampak terjadinya keretakan besar pada dinding Benteng Amsterdam. Pada awal 1900, benteng ditinggalkan oleh Belanda dalam keadaan rusak dan telah ditumbuhi sebatang pohon Beringin.

Sebagai warisan budaya, pemerintah kemudian melakukan pemugaran Benteng Amsterdam. Dalam prasasti logam di benteng tersebut tertulis pada 1 Juli 1991, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai melakukan pemugaran. Proses pemugaran berlangsung kurang lebih 3 tahun dan baru selesai pada 18 Oktober 1994.

Kini bangunan di dalam Benteng Amsterdam terlihat dengan cat warna putih bersih. Berjarak 42 kilometer dari kota Ambon, banteng ini banyak dikunjungi untuk melihat sejarah masa lalu. Selain itu pengunjung biasanya memanfaatkan tempat ini untuk berswafoto yang hasilnya semakin indah dengan latar laut biru di belakangnya. hay/I-1

Gereja Tua Hila, Gereja Tertua di Maluku

Portugis pertama kali datang ke Nusantara di dengan bersandar di Malaka pada 1511. Dari sini, bangsa Eropa lalu mendapatkan informasi tentang pusat rempah-rempah yang berada di Maluku. Mereka bergegas berangkat dan sampai di Ternate pada 1912.

Kedatangan Portugis di Pulau Ambon juga membawa misiagama dan bangsa Portugis yang beragama Katolik, lalu mendirikan tempat ibadah atauigrejadalam bahasa bangsa itu. Itulah mengapa sampai saat ini orang Indonesia lebih mengenal gereja daripada katakerkdalam bahasa Belanda.

Di Hila terdapat gereja tua bekas peninggalan Portugis dengan nama Gereja Tua Hila atau dengan nama lain Gereja Tua Imanuel. Gereja ini dibangun pada 1514 dan diberi nama awal Santo Jacobus.

Perubahan nama menjadi Imanuel dilakukan pada masa kekuasaan Belanda. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Ambon, Bernardus van Pleuren (1780-1781), nama gereja Santo Jacobus berganti menjadi Gereja Immanuel.

Gereja Imanuel yang berada di Desa Hila, Kecamatan Leihitu, jaraknya dengan Benteng Amsterdam hanya sekitar 50 meter ke arah tenggara. Bangunannya berbentuk limas dengan bahan atap dari alang-alang dengan lebar sekitar 10 meter dan panjang 15 meter.

Bangunan dari gereja ini sangat sederhana, karena hanya terbuat dari dinding kayu. Pada sisi kanan dan kiri ada tiga jendela dan di sisi belakang dan depan dua jendela. Lantainya terbuat dari ubin kasar dengan warna merah. Di bagian depan ada sebuah mimbar kecil di bagian depan untuk tempat pendeta menyampaikan khotbahnya.

Bangunan ini tidak seutuhnya asli karena pernah runtuh akibat perang saudara di Ambon pada 1999. Bahkan karena konflik itu, gereja ini kehilangan umat karena mereka meninggalkan tempat ini untuk mencari tempat yang aman.

Namun masyarakat setempat yang hampir semuanya muslim, kini tetap peduli dengan keberadaan Gereja Tua Hila yang menjadi ikon desa mereka. Mereka mendukung dan turut berperan dalam pembangunan kembali karena bangunan itu telah menjadi bagian sejarah negeri itu.

Gereja Tua Hila ditetapkan sebagai cagar budaya dan salah satu warisan bersejarah di Pulau Ambon, Maluku.

Selain ada Gereja Tua Hila, terdapat juga Masjid Tua Wapauwe.

Sebelum kedatangan penjajah Eropa di Negeri Hila, Islam sudah mengakar kuat di Hila dan Ambon umumnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya Masjid Tua Wapauwe yang bersejarah. Masjid ini dibangun pada 1414 M, menjadi bukti sejarah Islam di Maluku pada masa lampau.

Mulanya Masjid ini bernama Masjid Wawane karena dibangun di lereng Gunung Wawane oleh Perdana Jamilu, keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie Raha (di Provinsi Maluku Utara saat ini). Kedatangan Perdana Jamilu ke tanah Hitu sekitar tahun 1400 M, untuk menyebarkan ajaran Islam pada lima negeri di sekitar pegunungan Wawane yakni Assen, Wawane, Atetu, Tehala dan Nukuhaly.

Namun lokasi Masjid Tua Wapauwe tidak asli lagi. Perpindahan dilakukan karena gangguan dari Belanda yang menginjakkan kakinya di Tanah Hitu pada 1580, setelah Portugis pada 1512. Merasa tidak aman dengan ulah Belanda, Masjid Wawane dipindahkan pada 1614 ke Kampung Tehala yang berjarak 6 kilometer sebelah timur Wawane.

Sebelum pecahnya Perang Wawane pada 1634, Belanda sudah mengganggu kedamaian penduduk lima kampung yang telah menganut ajaran Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tempat kedua masjid ini berada di suatu daratan di mana banyak tumbuh pepohonan mangga hutan atau mangga berabu yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Kata Wapa menjadi namanya meski dengan sebutan Masjid Wapauwe, artinya masjid yang didirikan di bawah pohon mangga berabu.

Pada 1646, Belanda akhirnya dapat menguasai seluruh Tanah Hitu. Dalam rangka kebijakan politik ekonominya, Belanda kemudian melakukan proses penurunan penduduk dari daerah pegunungan tidak terkecuali penduduk kelima negeri tadi. Proses pemindahan lima negeri ini terjadi pada 1664, dan tahun itulah ditetapkan kemudian sebagai tahun berdirinya Negeri Kaitetu.

Bangunan induk masjid ini hanya berukuran 10 x 10 meter, sedangkan bangunan tambahan yang merupakan serambi berukuran 6,35 x 4,75 meter.

Tipologi bangunannya berbentuk empat bujur sangkar. Bangunan asli pada saat pendiriannya tidak mempunyai serambi. Meskipun kecil dan sederhana, masjid ini mempunyai beberapa keunikan yang jarang dimiliki masjid lainnya, yaitu konstruksi bangunan induk dirancang tanpa memakai paku atau pasak kayu pada setiap sambungan kayu.

Masjid ini direnovasi pertama kali oleh pendirinya, Jamilu, pada 1464, tanpa mengubah bentuk aslinya. Meski pernah mengalami dua kali pemindahan, bangunan inti masjid ini tetap asli. Bangunan ini mengalami renovasi kedua kali pada 1895 dengan penambahan serambi di depan atau bagian timur masjid.

Masjid berkali-kali mengalami renovasi sekunder setelah masa kemerdekaan Indonesia. Pada 1997, atap masjid yang semula menggunakan seng diganti dengan bahan (semula) dari nipah. Atap nipah diganti setiap lima tahun sekali. Meski pernah direnovasi berkali-kali, masjid ini tetap asli karena tidak mengubah bentuk inti masjid sama sekali. hay/I-1

Baca Juga: