JAKARTA - Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, baru-baru ini menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu yang beretika di Indonesia dihadapkan pada beberapa ancaman yang dapat mengganggu integritas dan keberlanjutan proses demokrasi.

Menurut pria yang kerap disapa dengan sebutan Romo Benny ini, salah satu ancaman utama adalah praktik kecurangan, yang melibatkan manipulasi suara, pemalsuan dokumen, atau tindakan lain yang dapat merusak keabsahan hasil pemilu.

"Selain itu, adanya intervensi eksternal dan internal dapat menjadi ancaman serius. Interferensi dari pihak luar atau tekanan politik dari dalam negeri dapat mempengaruhi independensi penyelenggara pemilu dan mengarah pada ketidaknetralan dalam penyelenggaraan proses pemilu," katanya dalam kegiatan Bedah Buku "Integritas Penyelenggara Pemilu", karya Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu Republik Indonesia, Heddy Lugito, di Jakarta, Senin (18/12).

Untuk menjaga pelaksanaan pemilu yang beretika, lanjut Benny, perlu dilakukan upaya serius dalam memitigasi ancaman-ancaman ini. Langkah-langkah seperti penguatan lembaga pengawas pemilu, penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran, transparansi dalam pembiayaan kampanye, dan peningkatan literasi politik masyarakat dapat menjadi langkah kunci dalam menjaga integritas pemilu di Indonesia.

Oleh karena hal tersebut menurut Benny Buku "Integritas Penyelenggara Pemilu" ini seharusnya bukan sekadar lembaran pengingat atau bahan dialektika, melainkan katalisator untuk memicu gerakan masif dalam menjaga integritas pemilu sebagai fondasi demokrasi. "Dengan membaca buku ini, diharapkan pembaca tidak hanya mendapatkan pemahaman mendalam tentang proses pemilu, tetapi juga tergerak untuk turut serta dalam upaya menjaga dan memperkuat demokrasi."

Lebih lanjut Benny menyatakan bahwa Buku "Integritas Penyelenggara Pemilu" seharusnya menjadi pintu gerbang menuju kesadaran kolektif akan peran penting pemilu dalam menentukan arah bangsa. Dengan mengilhami gerakan masif, buku ini dapat menjadi instrumen untuk memotivasi masyarakat agar terlibat aktif dalam menjaga integritas pemilu. Oleh karena itu, buku ini sepatutnya menjadi sumber inspirasi bagi individu dan kelompok untuk berperan aktif dalam memastikan pemilihan pemimpin yang tidak hanya mendapat dukungan luas, tetapi juga mampu membawa bangsa ke puncak kemajuan.

"Lebih dari sekadar pengetahuan, buku ini diharapkan dapat menjadi katalisator untuk tindakan nyata."

"Melalui pemahaman yang diperoleh dari buku ini, Para penyelenggara pemilu diharapkan menyadari bahwa mereka harus secara tulus menerjemahkan suara hati mereka dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil, mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kelompok," tuturnya.

Doktor ilmu Komunikasi Politik itu kemudian menyatakan bahwa pendekatan berbasis nilai dan etika menjadi kunci dalam menjaga integritas, sehingga setiap langkah yang diambil mencerminkan komitmen terhadap keadilan dan demokrasi.

Pentingnya mendengarkan suara hati ini diperkuat oleh kenyataan bahwa pemilu merupakan landasan demokrasi, di mana suara rakyat menjadi kekuatan penggerak. Dengan demikian, menjaga integritas pemilu bukan hanya tanggung jawab hukum, tetapi juga panggilan batin untuk mewujudkan sistem politik yang bersih dan bertanggung jawab.

Melalui penegakan suara hati, para penyelenggara pemilu dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Kejujuran dalam setiap tahap, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi, akan menciptakan fondasi yang kokoh untuk tujuan bangsa dan negara.

Dalam konteks pemilu 2024, suara hati yang kuat dan tulus menjadi kunci untuk menghadirkan pemilihan yang mencerminkan kehendak rakyat, mendukung stabilitas politik, dan membentuk masa depan yang demokratis dan berkelanjutan bagi Indonesia.masyarakat diharapkan dapat terorganisir dalam gerakan bersama untuk memantau, mengawasi, dan mengkritisi proses pemilu.

"Dengan begitu, bukan hanya pemilihan pemimpin yang memuaskan khalayak, melainkan juga pemimpin yang memiliki kapasitas untuk membawa bangsa dan negara ke jenjang yang lebih baik," tegasnya.

Benny menutup paparannya dengan menyatakan, dalam konteks itu, buku ini diharapkan bukan hanya sekadar literatur tapi menjadi adalah panggilan untuk tindakan.

"Dengan mengubah buku ini menjadi instrumen aksi, kita dapat membentuk masyarakat yang lebih partisipatif dan kritis, menjadikan pemilu bukan hanya ritual demokrasi, tetapi panggung nyata untuk transformasi positif," pungkas dia.

Baca Juga: