PARIS - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan umat manusia atau dunia kini sedang "berjalan ke arah yang salah" pada perubahan iklim karena ketergantungannya pada bahan bakar fosil. Dalam penilaian menunjukkan bahwa kadar emisi yang memanaskan bumi kini lebih tinggi daripada sebelum pandemi Covid-19.

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB dan Program Lingkungan memperingatkan, bencana akan menjadi biasa jika ekonomi dunia gagal untuk dekarbonisasi sejalan dengan apa yang menurut ilmu pengetahuan diperlukan mencegah dampak terburuk dari pemanasan global.

Mereka menunjuk banjir monumental di Pakistan dan gelombang panas yang merusak tanaman di Tiongkok tahun ini. Ini hanya sebagai contoh dari apa yang terjadi.

"Banjir, kekeringan, gelombang panas, badai ekstrem, dan kebakaran hutan berubah dari buruk menjadi lebih buruk, memecahkan rekor dengan frekuensi yang mengkhawatirkan," kata Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, di Paris, Selasa (13/9) atau Rabu (14/9) WIB.

PBB memperingatkan bulan lalu bahwa kekeringan yang melanda wilayah Tanduk Afrika dan sekarang mengancam jutaan orang dengan kekurangan pangan akut, kemungkinan akan berlanjut hingga tahun kelima.

"Tidak ada yang alami tentang skala baru dari bencana ini. Itu adalah harga dari kecanduan bahan bakar fosil manusia," kata Guterres menegaskan.

Laporan United in Science PBB menggarisbawahi bagaimana, hampir tiga tahun sejak Covid-19 memberi pemerintah kesempatan untuk menilai kembali bagaimana menggerakkan ekonomi mereka, negara-negara terus maju dengan polusi seperti biasa.

Ditemukan bahwa setelah penurunan emisi 5,4 persen yang belum pernah terjadi sebelumnya pada 2020 karena penguncian dan pembatasan perjalanan, data awal dari Januari- Mei tahun 2022 ini menunjukkan emisi CO2 global 1,2 persen lebih tinggi daripada sebelum Covid-19.

Menurut penilaian tersebut, ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan besar dari tahun ke tahun di Amerika Serikat, India, dan sebagian besar negara Eropa.

"Ilmu pengetahuannya jelas: kita menuju ke arah yang salah," kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.

"Konsentrasi gas rumah kaca juga terus meningkat, mencapai rekor tertinggi baru. Tingkat emisi bahan bakar fosil sekarang di atas tingkat pra-pandemi. Tujuh tahun terakhir adalah rekor terpanas," tuturnya.

Pekan lalu pemantau iklim Copernicus Uni Eropa mengatakan bahwa musim panas 2022 adalah yang terpanas di Eropa dan salah satu yang terpanas secara global sejak pencatatan dimulai pada 1970-an.

Laporan Selasa (13/9) mengatakan ada kemungkinan 93 persen bahwa rekor tahun terpanas secara global saat ini, 2016, akan dipecahkan dalam waktu lima tahun ini.

Ini memperingatkan penggunaan bahan bakar fosil yang berkelanjutan berarti kemungkinan suhu global rata-rata tahunan untuk sementara melebihi 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri dalam satu dari lima tahun ke depan kira-kira sama (48 persen).

Menjaga suhu jangka panjang di bawah 1,5 derajat Celcius adalah tujuan paling ambisius dari Perjanjian Paris 2015.

Baca Juga: