» Selain transparan saat negosiasi, Malaysia juga tawarkan kemudahan berbisnis dan insentif.

» Kepercayaan investor harus ditumbuhkan dengan berbagai jurus kemudahan berusaha.

JAKARTA - Perekonomian Indonesia harus ditopang penanaman modal atau investasi langsung ke sektor riil, baik dalam bentuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) langsung atau Foreign Direct Investment (FDI). Pentingnya pilar investasi dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) itu agar pertumbuhan ekonomi lebih berkualitas karena mampu menyerap banyak tenaga kerja dan memperbaiki daya beli masyarakat melalui peningkatan pendapatan.

Sayangnya, dengan potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang melimpah tersebut belum mampu dioptimalkan pemerintah untuk menggaet investor masuk ke Indonesia.

Bahkan, beberapa investor global seperti Tesla dan Amazon Web Service (AWS) malah memilih Malaysia sebagai negara basis investasinya di Asia Tenggara karena pertimbangan kondisi politik yang stabil dan kebijakan pemerintah Malaysia yang memberi kepastian hukum.

Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, baru-baru ini seperti dilansir dari Straits Times mengakui kalau negosiasi dengan AWS sudah dimulai sejak 2019, namun akhirnya mereka memutuskan mendirikan basis mereka di Malaysia.

Malaysia, kata Anwar, bersikap transparan terhadap AWS selama negosiasi. Selain itu, pemerintah juga menawarkan insentif dan kemudahan berbisnis kepada AWS.

Menanggapi persaingan memperebutkan investasi tersebut, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengatakan masalah investasi di Indonesia karena tidak adanya kesinambungan antara apa yang dinyatakan di depan publik dengan realitas di lapangan. Para kepala daerah bisa menyatakan menggelar karpet merah untuk investor, tetapi di lapangan ada jalur gelap dan ruwet seperti rimba raya.

"Sampai hari ini, investasi masih seperti rimba raya yang dipenuhi kelompok oportunis yang memanfaatkan lemahnya penegakan hukum. Pengusaha lokal saja dipersulit, apalagi investor asing," kata Maruf.

Para bupati dalam janji politiknya mengatakan akan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan komitmen pada kemudahaan investasi hijau yang ramah lingkungan. Tapi begitu masuk ke detil regulasi, banyak wilayah abu-abu dengan praktik penuh suap dan kolusi.

"Negara tidak bisa mengontrol hal itu, sehingga investor besar dan berjangka waktu lama seperti Tesla tentu ragu dengan masa depan bisnisnya. Ada perbaikan di era Jokowi, tapi belum sampai bawah," kata Maruf.

Maruf menuding, politik biaya tinggi sebagai sumber masalah dari tidak beresnya regulasi dan praktik kenegaraan dan hukum di level bawah. Banyak pemimpin politik yang tersandera oleh biaya modal politik. "Sulit untuk berharap bisnis sesungguhnya dilindungi aturan yang fair dan terbuka," tandas Maruf.

Sulit Hilirisasi

Pada kesempatan terpisah, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Imron Mawardi, mengatakan tanpa ada kemudahan investasi dan kepastian hukum, pemerintah akan kesulitan untuk mengembangkan industri hilir.

"Nilai tambah dari hilirisasi sangat tinggi, bisa berkali-kali lipat. Apalagi teknologi pendukung sudah semakin murah. Secara teknis hampir tidak ada kendala dalam menerapkan hilirisasi. Untuk itu, kepercayaan investor harus ditumbuhkan dengan berbagai jurus kemudahan berusaha. Mobil listrik hanya salah satu saja. Baja, nikel, mangan adalah komoditas lain yang bisa diberi nilai tambah hingga ribuan persen. Begitu juga CPO yang bisa dihilirisasi pada industri obat, kosmetik, pangan, dan sebagainya yang nilai tambahnya hingga ratusan persen," kata Imron.

Untuk menarik investasi asing masuk sektor hilir itu, tentu harus ada kemudahan birokrasi, keamanan, jaminan hukum, kelanjutan usaha, pajak. Hal yang paling penting adalah kepastian usaha dan kepastian hukum.

Sementara itu, Direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan ada beberapa masalah yang mengganjal investasi Tesla di Indonesia.

Pertama, Tesla memiliki standar lingkungan yang tinggi karena menjual kendaraan listrik. Sementara bahan baku nikel dan barang tambang di Indonesia untuk kebutuhan baterai masih sulit untuk memenuhi syarat lingkungan yang ketat. "Kedua, birokrasi di Indonesia relatif lebih rumit dibanding Malaysia," jelas Bhima.

Ketiga, kurangnya kepastian kebijakan, bahkan ketidakpastian semakin meningkat menjelang pemilihan umum (pemilu). "Bagi Tesla, ketidakpastian politik dan kebijakan menimbulkan risiko bisnis jangka panjang," terang Bhima.

Pemerintah, tambahnya, harus memperbaiki iklim investasi agar perusahaan- perusahaan besar global seperti Tesla tertarik berinvestasi di Indonesia.

Baca Juga: