» Inflasi di AS pada September 2022 berada di level 8,2 persen, sedangkan target bank sentral 2 persen.
» BI harus mengimbangi kenaikan suku bunga the Fed agar kurs rupiah tidak terdepresiasi makin dalam.
WASHINGTON - Bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve pada Rabu (2/11) melanjutkan kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) yang besar secara historis keempat berturut-turut sebesar 0,75 persen sebagai upaya untuk mengalahkan lonjakan inflasi.
Seperti dilansir dari USA Today, kampanye Fed selama berbulan-bulan semakin berisiko terhadap resesi tahun depan.
Pada konferensi pers, Ketua The Fed, Jerome Powell, mengatakan bank sentral itu dapat memperlambat laju kenaikan secepatnya bulan depan. "Waktu itu akan datang dan mungkin akan datang segera setelah pertemuan berikutnya atau setelah itu," kata Powell.
Namun dia menambahkan, The Fed tidak akan menghentikan kampanye kenaikan suku bunga dan perlu meningkatkan suku bunga sedikit lebih baik untuk mencapai tingkat yang cukup untuk membatasi turunnya inflasi ke level 2 persen. Mereka khawatir, inflasi bisa menjadi berakar pada ekspektasi konsumen dan bisnis. Sebab itu, The Fed harus bergerak tegas untuk mencegah dinamika seperti itu. "Terlalu dini untuk berpikir untuk berhenti. Kami punya cara untuk pergi," kata Powell.
Lebih lanjut dikatakan, obat untuk inflasi tinggi, saat pertumbuhan lemah, dan kekurangan tenaga kerja adalah meningkatkan produktivitas pekerja.
Mengutip angka inflasi tinggi baru-baru ini, dia menambahkan bahwa suku bunga bisa naik di atas kisaran 4,5-4,75 persen yang sebelumnya diantisipasi oleh pejabat Fed. "Angka inflasi menunjukkan kepada saya bahwa kita mungkin bergerak ke tingkat yang lebih tinggi dari yang kita duga pada pertemuan September. Tidak ada perkiraan bahwa inflasi turun," kata Powell.
Sejak pertemuan terakhir The Fed enam minggu lalu, ada beberapa petunjuk memperlihatkan inflasi akan segera mereda. Pertumbuhan pekerjaan bulanan AS telah turun dari 537.000 pada Juli menjadi 263.000 pada bulan September, meskipun itu masih angka yang solid. Dan upah dan gaji sektor swasta tumbuh 5,2 persen setiap tahun pada periode Juli-September, masih tinggi secara historis, tetapi turun dari 5,7 persen pada kuartal sebelumnya.
Pengukur inflasi yang paling banyak diikuti yaitu indeks harga konsumen, menunjukkan bahwa harga keseluruhan pada bulan September naik 8,2 persen dari tahun sebelumnya, turun dari level tertinggi empat dekade sebesar 9 persen pada Juni.
Namun, perkembangan tersebut telah kalah jumlah dengan tanda-tanda bahwa inflasi kemungkinan akan turun perlahan. Ukuran inflasi pilihan The Fed, yang tidak termasuk biaya makanan dan energi, naik menjadi 5,1 persen pada September dari 4,9 persen bulan sebelumnya. Ekspektasi inflasi konsumen dalam satu dan lima tahun, yang sering mempengaruhi kenaikan harga aktual, naik bulan lalu setelah sebelumnya turun.
Begitu pula lowongan pekerjaan melonjak dari 10,3 juta menjadi 10,7 juta pada September setelah keluar dari rekor tertinggi pada musim semi dan musim panas. Hal itu dapat kembali memberikan tekanan ke atas pada upah karena pengusaha bersaing untuk mendapatkan pekerja yang masih terbatas dibandingkan dengan tingkat prapandemi.
"Kami tidak akan menyatakan kemenangan sampai kami benar-benar melihat bukti yang meyakinkan, bukti kuat bahwa inflasi akan turun," kata Powell
Kepala Ekonom untuk National Association of Home Builders, Robert Dietz, mengatakan kepada USA Today bahwa ia memprediksi Fed akan melonggarkan suku bunga selambat-lambatnya pada 2024 yang akan mengarah pada rebound dalam industri perumahan. "Pasar untuk 2023 akan lemah sampai saat itu. Harga rumah akan tetap tinggi dan pasokan akan rendah," kata Dietz.
Harus Diimbangi
Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, mengatakan BI kemungkinan menaikkan suku bunga acuan BI7 days Reverse Repo Rate ke depan, kalau melihat langkah The Fed yang agresif. Langkah itu tentu harus diimbangi BI supaya depresiasi rupiah tidak semakin dalam.
Langkah ini selain untuk menjaga agar depresiasi nilai tukar rupiah tetap terjaga, juga isu inflasi di dalam negeri. "Ini yang tampaknya membuat BI masih harus tetap menaikkan suku bunga acuannya dalam beberapa waktu mendatang," kata Riefky.
Secara terpisah, Pengamat Ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan naiknya suku bunga menunjukkan kekhawatiran otoritas keuangan bahwa inflasi masih terlalu tinggi masih kuat.
"Upaya melawan inflasi mungkin dilihat masih belum cukup membuahkan hasil dan masih sangat jauh dari target 2 persen. Karena itu, instrumen suku bunga acuan kembali dinaikkan untuk mengejar target inflasi tersebut. Harapannya adalah permintaan akan menurun karena pinjaman makin mahal sehingga laju kenaikan harga melambat," paparnya.