Judul : Secangkir Kopi Jon Pakir
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : PT Mizan Pustaka
Cetakan : Cetakan I, September 2016
Tebal : 348 halaman
ISBN : 978-979-433-973-2
Setiap kopi memiliki ciri khas yang dapat dirasakan dari aroma dan cita rasanya. Ada kopi yang memiliki aroma rempah, fruity, atau earthy. Ada kopi yang rasanya asam, ada yang rasanya pahit. Ada juga rasa kopi yang lebih lembut jika Anda tak suka kedua rasa sebelumnya. Namun, rasa kopi yang sama bisa jadi berbeda di tangan peracik yang berbeda.
Adalah seorang yang bernama Jon Pakir, karena dia berasal dari Jombang. Jika diucapkan dengan lidah Arab beda lagi katanya. Keahliannya meracik kopi, tapi bukan sembarang kopi. Karena Jon ingin menyajikan secangkir kopi yang bisa dinikmati oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Buku Secangkir Kopi Jon Pakir menyajikan kopi-kopi racikan si ahli perakit kata-kata. Sang penulis, Emha Ainun Nadjib atau yang akrab dipanggil Cak Nun, membuat analogi kopi untuk tulisan-tulisannya di dalam buku ini. Sekitar seratus lima puluh kopi disajikan Jon Pakir dengan menyentuh berbagai problema masyarakat kelas bawah dalam kehidupan sehari-hari. Dirakit dengan bahasa yang sederhana dan jenaka, sehingga di akhir seruputan pembaca bisa dibikin senyum-senyum atau juga manggut-manggut.
Ada tulisannya yang menaruh perhatian kepada sistem pendidikan yang makin rusak. Tentu bukan sekadar opini belaka tanpa berlandaskan fakta, melainkan masalah itu juga diakui oleh banyak ahli pendidikan. Pergantian menteri pendidikan di Indonesia selalu menimbulkan kegalauan karena itu sama artinya dengan pergantian kebijakan. Entah itu penambahan mata pelajaran untuk ujian atau standar nilai kelulusan yang naik, para siswalah yang menjadi korbannya. Jon Pakir juga mengkritik sistem pendidikan dimana anak-anak hanya didorong untuk tahu, bukan mengerti apalagi bisa. Tahunya pun ditentukan, harus tahu yang seperti apa (hal. 28).
Ada lagi tulisannya yang menyorot soal realita di terminal bis dan kehidupan calo-calo terminal. Pergumulan dalam menghadapi calo dianggap menjadi "proses kuliah kehidupan" yang diterima Jon Pakir. Meski sang dewa tidur terkadang sampai ingin mengutuk (hal. 243), baginya terminal adalah universitas paling jujur (hal. 236).
Dalam lingkungan bertetangga, Jon Pakir menilik fenomena bertetangga di era modern. Manusia adalah makhluk sosial, oleh sebab itu tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Tapi konsep bertetangga yang dulu dikenal sebagai orang yang tinggal di sebelah kanan dan kiri tempat tinggal mulai berganti dengan konsep bertetangga dalam jaringan profesi (hal.75).
Dalam buku ini, penulis yang merupakan seorang budayawan asal Jombang turut melestarikan bahasa Jawa melalui tulisannya. Akan lebih mudah mengenali suatu budaya melalui bahasa yang mencerminkan kebudayaan tersebut. Dan bagaimana penulis menggunakan bahasa yang sederhana agar pembaca mudah mencerna tulisan yang berat patut diacungi jempol.
Kopi-kopi yang diracik Jon Pakir ini menjadi kaya akan rasa karena bersumber dari pengalaman pribadinya, pengamatan pribadinya, dan tentunya pergaulannya di masyarakat. Buku ini perlu dibaca oleh semua orang dari seluruh lapisan masyarakat. Tulisan-tulisan Cak Nun tidak mendikte pembaca untuk melakukan ini ataupun itu, melainkan menyadarkan dan membiarkan pembaca menangkap sendiri hikmahnya.
Peresensi, Lucia Vania, Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, Gading Serpong