Di sejumlah sekolah dasar (SD) negeri dan swasta di Yogyakarta, banyak orang tua terlibat secara kolektif dalam kebijakan sekolah melalui Paguyuban Orang Tua (PO).
Risa Nihayah, SMERU Research Institute dan Senza Arsendy, The University of Melbourne
Di tengah capaian pendidikan Indonesia yang stagnan - bahkan menurun - selama setidaknya dua dekade terakhir, orang tua pun kini dituntut untuk turut membantu sekolah dan pemerintah mendongkrak pembelajaran siswa. Sayangnya, mereka belum dilibatkan secara bermakna dan diberikan ruang untuk menyuarakan aspirasi terkait kebijakan pendidikan, baik di level nasional, lokal, maupun sekolah.
Salah satu contoh belum lama ini, misalnya, adalah pengabaian protes orangtua dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sebelumnya, survei Bank Dunia pada 2012 menunjukkan orang tua - melalui komite sekolah - cenderung belum berpengaruh pada berbagai pengambilan keputusan di sekolah. Kami juga menemukan bahwa sekolah dan Dinas Pendidikan merasa lebih berkewajiban menjalankan tuntutan kepala daerah dibandingkan masukan orang tua.
Hal ini menggambarkan keterlibatan orang tua di Indonesia masih bersifat tokenistic (sekadar formalitas) dan parsial (belum dilibatkan sepenuhnya).
Menariknya, di tengah kondisi tersebut, studi etnografi yang pernah kami lakukan lewat program Research on Improving Systems of Education (RISE) menunjukkan secercah harapan dari Kota Yogyakarta. Pada tiga sekolah dasar (SD) negeri dan swasta yang kami amati - baik yang didominasi murid ekonomi rendah atau yang berperforma akademik tinggi - banyak orang tua terlibat secara kolektif dalam kebijakan sekolah melalui wadah yang disebut Paguyuban Orang Tua (PO).
Lewat forum ini, orang tua di Yogyakarta memainkan peran penting dan aktif dalam advokasi kebijakan pendidikan - bukan hanya sekadar menggantikan tugas sekolah di rumah.
Potret partisipasi orang tua di Yogyakarta
Dibandingkan daerah lain di Indonesia, Yogyakarta merupakan daerah yang unggul dalam pendidikan. Hasil asesmen pembelajaran dalam aspek seperti literasi, maupun laporan internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA), menunjukkan Yogyakarta memiliki hasil tertinggi di Indonesia.
Di sini, riset terbatas kami menunjukkan bahwa orang tua di Yogyakarta cenderung terlibat secara kolektif untuk mendorong kebijakan sekolah.
Berbeda dengan keterlibatan individualistik yang cenderung memposisikan orang tua sebagai pengganti guru di rumah, keterlibatan orang tua secara kolektif berorientasi pada kepentingan semua anak pada suatu sekolah, bukan hanya untuk anak-anak yang orang tuanya bisa dan bersedia terlibat.
Keterlibatan kolektif ini terwadahi melalui Paguyuban Orang Tua (PO) yang tumbuh secara organik sejak tahun 2000-an. Berbeda dengan komite sekolah yang dibentuk secara formal pada tingkat sekolah dan pengambilan keputusannya cenderung dipengaruhi kepala sekolah, PO merupakan perkumpulan orangtua atau wali siswa di tiap rombongan belajar (rombel/kelas). Akibatnya, mereka bisa lebih dekat bekerja sama dengan guru dan sekolah.
Melalui PO, orang tua mengorganisasi diri untuk memastikan semua siswa - bukan hanya anaknya - mendapatkan pembelajaran dan layanan pendidikan yang berkualitas.
Misalnya, di beberapa SD negeri, kami menemukan PO dari anak-anak kelas atas (kelas 4-6) mendorong sekolah untuk memberikan jam pelajaran tambahan bagi siswa yang membutuhkan atau kesulitan. Tanpa wadah atau aksi kolektif semacam ini, alih-alih mendorong sekolah, orang tua biasanya dipaksa mengeluarkan sumber daya tambahan untuk mengirimkan anaknya les privat di tempat lain.
Selanjutnya, kami juga menemukan beberapa praktik orang tua yang terlibat secara aktif meninjau kualitas guru. Selain ikut berkontribusi memberikan masukan terkait performa guru, misalnya, kami mendapati perwakilan PO yang mengkritisi proses rekrutmen guru baru agar tidak dilakukan secara asal-asalan serta bisa menjaring guru yang kompeten dan kreatif.
Eksperimen yang dilakukan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada tahun 2016-2018 melalui program KIAT Guru menunjukkan ketika masyarakat terlibat memonitor kinerja guru, hasil belajar siswa bisa cenderung meningkat secara signifikan.
Di luar kegiatan intrakurikuler, orang tua yang kami temui juga aktif terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler.
Misalnya, bersama dengan guru dan sekolah, PO terlibat untuk merancang kegiatan karyawisata yang mendukung proses pembelajaran. Untuk memastikan semua anak bisa terlibat, PO mengusulkan pembiayaan karyawisata dilakukan melalui mekanisme subsidi silang dengan para orang tua lainnya.
Memupuk peran kolektif
Mengapa keterlibatan kolektif muncul di Yogyakarta?
Pertama, riset kami menemukan adanya hubungan sosial yang erat dan bersumber dari filsafat Jawa bernama "handarbeni" (rasa memiliki di antara masyarakat).
Budaya kolektivis seperti ini akhirnya menghasilkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk membuat anak orang lain berhasil seperti anak sendiri - termasuk pada kelompok sosial dan ekonomi rendah.
Untuk meningkatkan minat baca, misalnya, PO memfasilitasi pojok baca di masing-masing kelas. Pada kegiatan ini, anak secara bergantian membawa buku dari rumah agar bisa dibaca bersama teman-temannya.
Orang tua juga tidak enggan berbagi informasi terkait penyediaan buku bacaan tambahan. Menjelang ujian, orangtua biasanya mendaftarkan anak-anak pada lomba atau try-out bersama, dan menggandakan soal-soal latihan untuk dibagikan dengan orang tua lainnya.
Kedua, keterlibatan kolektif orang tua terjadi karena adanya dukungan pemerintah daerah, berlandaskan moto "Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarta" (Segoro Amarto).
Misalnya, Pemda mengalokasikan sejumlah dana untuk melaksanakan program Jam Belajar Masyarakat, kerja sama dengan organisasi masyarakat lain, serta kolaborasi pendidikan antarorganisasi - termasuk dengan perpustakaan daerah dan universitas.
Ketiga, studi kami juga menemukan orang tua di Yogyakarta cenderung memiliki relasi kuasa yang setara dengan pihak sekolah.
Di Kota Yogakarta, adanya jumlah kelompok kelas menengah yang cukup besar - meski diiringi kesenjangan ekonomi yang relatif tinggi pula - membuat para orang tua di sana relatif punya sumber daya dan kemampuan komunikasi ke sekolah yang lebih baik ketimbang orang tua ekonomi bawah. Kekuatan dan kepentingan bersama ini kemudian membuat mereka bisa mendorong kebijakan pendidikan yang fokus pada kualitas, demi semakin bisa mendukung mobilitas sosial semua anak.
Akibat ketiga faktor di atas pula, temuan kami menunjukkan bahwa jaringan sosial masyarakat di Kota Yogyakarta menjadi tidak terlalu hierarkis. Masyarakat biasa dapat menyuarakan aspirasi dan terlibat secara aktif dalam implementasi kebijakan pendidikan.
Perlunya partisipasi yang setara dan bermakna
Meski Yogyakarta menawarkan kisah baik, ada beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi.
Seperti yang sudah pernah kami tulis sebelumnya, partisipasi orang tua masih didominasi oleh ibu. Di antara seluruh kegiatan pertemuan orangtua yang kami amati di Yogyakarta, keterlibatan laki-laki cenderung sangat terbatas.
Selain itu, tugas-tugas advokasi yang kami temukan di Yogyakarta juga masih didominasi orang tua kelas menengah. Dalam banyak kasus, misalnya, bukan tidak mungkin kepentingan kelas menengah berbeda dengan kelas ekonomi bawah.
Oleh karena itu, pemerintah maupun sekolah perlu memastikan bahwa hal-hal yang diadvokasikan oleh orang tua kelas menengah masih sejalan dengan tujuan pemerintah meningkatkan kualitas dan kesetaraan.
Lepas dari keterbatasan yang ada, keterlibatan orang tua secara kolektif di Yogyakarta berpotensi menjaga kualitas pendidikan.
Sayangnya, apa yang kami temukan di Yogyakarta belum ditemukan di daerah lain. Penelitian lain kami dengan program RISE di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dan Kab. Bogor, Jawa Barat menunjukkan model partisipasi orang tua yang berbeda.
Faktor-faktor khas yang mendorong aksi kolektif di Yogyakarta cenderung absen di daerah-daerah tersebut. Apalagi, sekolah di sana juga sering kali hanya melibatkan orang tua demi kepentingan sekolah - misalnya untuk mendukung fasilitas belajar di rumah atau membantu perayaan di sekolah.
Padahal metaanalisis dari berbagai hasil riset menunjukkan keterlibatan semacam itu tidak dapat memberikan pengaruh positif terhadap prestasi akademik siswa. Selain itu, pelibatan orang tua biasanya juga hanya berorientasi pada pergesaran tanggung jawab dari sekolah ke rumah tangga.
UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun 2003 sebenarnya mengatur hak orang tua dalam pendidikan di manapun mereka berada: masyarakat berhak berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan secara perorangan atau kelompok.
Sayangnya, UU ini belum mengatur dorongan bagi pemerintah daerah untuk menjaring aspirasi, dan membagi ruang kepada publik untuk terlibat secara setara dalam proses pembuatan kebijakan pendidikan baik di tingkat sekolah maupun daerah. Semoga, hal ini dapat diakomodasi dalam Rancangan UU Sisdiknas yang baru.
Risa Nihayah, Peneliti Kualitatif, SMERU Research Institute dan Senza Arsendy, PhD Student in Sociology, The University of Melbourne
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.