Pengajar di D'Ling bersifat sukarela. Komunitas hanya memberikan uang transport dan jajan ala kadarnya.

Keinginan anak muda untuk mampu 'cas cis cus' berbahasa asing kadang terbentur biaya les yang tergolong mahal atau ketiadaan lawan bicara. Komunitas Depok Lingua (D'Ling) manjadi wadah untuk belajar sejumlah bahasa asing secara bersama-sama.

Hari Minggu menjadi hari yang dinanti para anggota D'Ling. Pasalnya, pada hari tersebut, mereka akan belajar bahasa asing sesuai minat pesertanya.

Bahasa yang dipejaripun tidak hanya sebatas Bahasa Inggris maupun Jepang yang menjadi banyak pilihan anak muda. Ada sejumlah bahasa asing lain yang tidak kalah menarik untuk dipelajari, seperti Korea, Rusia, Turki, Thailand, Arab bahkan pernah mengadakan pelatihan bahasa daerah, yaitu Sunda dan Jawa.

"Selama ada yang mengajar, buka kelasnya," ujar Galih Pradipta Muridan, 21, Ketua Komunitas Depok Lingua tentang pembukaan kelas baru yang ditemui di Universitas Indonesia, Depok.

Dapat dikatakan, pengajar merupakan syarat utama dibukanya kelas bahasa tertentu. Hal ini lantaran, pengajar di D'Ling bersifat sukarela. Komunitas hanya memberikan uang transport dan jajan ala kadarnya.

D'Ling memberikan kesempatan anak muda untuk mempelajari bahasa asing. Mereka mencermati bahwa banyak anak muda yang tertarik untuk menguasai bahasa asing. Namun untuk ikut kursus, kadangkala mereka terbentur dengan masalah biaya yang tergolong mahal.

Di sisi lain, komunitas yang berdiri pada Oktober 2015 ini ingin memberikan kegiatan lain di luar sekolah, salah satunya melalui belajar bahasa asing.

Proses belajar yang dilakukan sama halnya dengan belajar di sekolah maupun di tempat les. Mereka memiliki silabus pembelajaran bahkan ada ujian pada tengah semester maupun akhir semester.

Maksudnya tidak lain, supaya ada tolak ukur dalam setiap pembelajaran. Sedangan, proses belajar dilakukan selama satu term atau satu semester selama 16 kali pertemuan.

Dalam setiap term akan dibuka oprek atau pendaftaran untuk peserta maupun pengajar yang waktunya dibedakan diantara keduanya. Untuk pengajar, D'Ling akan kembali menawarkan kesempatan mengajar pada para pengajar lama. Setelah itu, mereka baru membuka oprek untuk pengajar baru.

Untuk mengetahui komitemen para pengajar baru, pengurus D'Ling akan melalukan interview tentang pengalaman mengajar maupun sistem pembelajaran yang akan diberikan. Jika lolos, mereka akan bergabung dalam lokakarya bersama pengurus, pengajar lama untuk membicarakan silabus serta remburs transport maupun uang jajan.

Sampai saat ini, pengajar berasal dari kalangan profesional. Siswa SMA yang pernah melakukan pertukaran pelajar di luar negeri, kalangan yang pernah mengambil S 2 diluar negeri maupun peserta yang telah menempuh dalam beberapa term pembelajaran. Rata-rata, mereka ingin membagikan ilmunya pada anak-anak muda yang haus belajar bahasa asing.

Sedangkan untuk para peserta, D'Ling tidak mensyaratkan tes tertentu. "Yang penting niat," ujar laki-laki yang biasa disapa Galih ini. Kecuali untuk kelas-kelas lanjutan seperti Bahasa Inggris maupun Jepang, komunitas baru memberikan tes supaya peserta memiliki kemampuan sesuai matari yang akan diberikan.

Selain pembelajaran bahasa, dalam satu term komunitas mengisi kegiatan lain untuk saling mendekatkan anggota. Seperti, tim building yang dilakukan sebelum kegiatan belajar mengajar sebagai ajang perkenalan anggota.

Lalu usai pertengahann ujian semester, ada festival budaya yang diisi dengan berbagai kegiatan budaya dari berbagai negara.

Kemudian usai ujian akhir, ada graduation yang diisi dengan sejumlah pementasan sesuai minat bakat anggota. Karena usai belajar bahasa yang dilakukan pada hari Minggu, peserta akan berkumpul dan melakukan kegiatan sesuai minat bakat.

Banyaknya kegiatan di D 'Ling tersebutlah yang menarik anak muda untuk bergabung. Bahkan yang sudah tidak ikut dalam pembelajaran bahasa tak jarang ikut ngumpul.

Sampai saat ini, anggota komunitas berjumlah kurang lebih 300 orang. Galih tidak menampik bahwa kegiatan dalam naungan komunitas rentan anggota keluar masuk, hal tersebut tidak hanya terjadi para peserta melainkan juga pengajar yang disapa juga dengan sebutan Linguisti.

Sebagai penunjang kegiatan belajar mengajar, komunitas mewajibkan para peserta membayar iuran 20 ribu rupiah untuk anggota lama dan 25 ribu rupiah anggota baru. Iuran tersebut dikumpulkan untuk membayar trasportasi, uang jajan para pengajar maupun fotocopy penunjang kegiatan.

Penguasaan bahasa asing membutuhkan proses yang tidak singkat. "Kadang, orang berpandangan selesai les langsung bisa lancar berbahas asing," ujar dia.

Kegiatan belajar bahasa asing di D'Ling tidak berarti peserta langsung fasif berbahasa asing. Namun setidaknya, mereka memiliki bekal untuk menguasai satu maupun lebih bahasa asing. din/E-6

Antara Bahasa dan Budaya

Mempelajari bahasa asing tidak sekadar sebagai pengantar komunikasi. Lebih dari itu, bahasa dapat digunakan untuk memahami cara pandang suatu masyarakat di suatu wilayah.

Jika dipahami secara seksama bahasa tidak sekedar penterjemah kata karena di dalamnya mengandung logika yang berbeda antara wilayah. Seperti sejumlah bahasa asing yang lebih mengutamakan penggunaan waktu.

Hal tersebut berbeda dengan Bahasa Indonesia lebih mengutamakan kata kerja. "Kalau kita (Bahasa Indonesia) lebih kata kerja dilakukan," ujar Galih.

Galih mengatakan mempelajari bahasa menjadikan dirinya menjadi lebih terbuka. Karena bahasa mengantarkan pada sudut pandang yang berbeda-beda antara negara satu dengan negara lainnya.

Seperti dalam bahasa Jepang, orang Jepang selalu bersemangat dalam hampir setiap kata-katanya. Bahkan cara pengucapan tersebut tidak hanya dalam obrolan serius namun obrolan santai bahkan saat membicarakan seni. "Ternyata menunjukkan, orang Jepang tidak mau (bekerja) setengah-setangah," ujar dia.

Bahasa dan budaya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Cara berbahasa menjadi bagian budaya masyarakat setempat.

Bahkan dalam sopan satun, bahasa dapat menjadi perwakilannya. Di sejumlah negara, sopan satun untuk orang tua maupun antara anak muda dapat disampaikan dengan cara yang berbeda.

Untuk itulah terkadang bahasa asing susah dimengerti lantaran budaya dan logikanya yang berbeda. Maka, bahasa yang dipelajari sambil mengenal bduayanya akan membantu pemahaman bahasa asing.

Sementara Eko Galih Saputro, 24, memiliki pendapat lain tentang bahasa. Ia seolah tengah mengelilingi dunia. "Mengglobalkan diri salah satunya melalui bahasa," ujar dia.

Pendapat tersebut dia dengar dari salah satu gurunya yang berpendapat "when you learn a new language, its just like you own the world". Dalam terjemahan bebasnya, ketika kamu mempelajari bahasa baru, kamu seperti pemilik dunia. din/E-6

Tidak Bisa Karena Tidak Terbiasa

Kebiasaan menjadi salah satu kunci keberhasilan belajar bahasa asing. Persoalannya, tidak semua kalangan memiliki kebiasaan berbahasa asing lantaran lingkungan tidak mendukung penggunaan bahasa tersebut.

"Tantangannya lebih kepada membiasakan yang tidak biasa sih," ujar Eko Galih Saputro, 24, melalui pesan melalui aplikasi komunikasi.

Laki-laki yang berkerja sebagai event organizer ini berpendapat dirinya tidak berada dalam lingkungan yang selalu menggunakan bahasa asing. Sehingga, dia tidak terlatih menggunakan bahasa Inggris maupun Jerman yang tengah dipelajarinya saat ini.

Eko menyadari agar fasif menggunakan bahasa asing, dia harus menggunakan bahasa tersebut sebagai bagian bahasa kesehariannya. Namun hal tersebut tidaklah semudah membalikan tangan.

"Jadi membiasakannya itu yang susah," ujar dia, yang mengganggap saat menggunakan bahasa asing berarti dirinya tengah berkeliling dunia. Untuk itulah, salah satu upayanya bergabung dengan komunitas bahasa. Supaya dia memiliki lingkungan yang terbiasa menggunakan bahasa asing.

Hal serupa dirasakan Meme Indriana Putri, 18, kebiasaan pengguanaan bahasa menjadi tantangan mempelajari bahasa asing. "Tantangannya lebih ke penghafalan kosakata dan conversation, mungkin karena belum terbiasa," ujar perempuan yang belajar bahasa asing untuk mengejar beasiswa ini.

Alasan lainnya, dia memiliki keterbatasan lawan bicara menggunakan bahasa asing. Alhasil, bahasa asing pun makin jarang digunakannya.

Salah satu upaya yang dilakukannya adalah ikut komunitas bahasa. Dalam komunitas ini, Meme ditantang untuk menggunakan bahasa asing yang dipelajarinya. Ia pun makin bersemangat untuk menguasai bahasa asing asing lantaran komunitas menjaga kekompakkan anggtanya.

Lain lagi dengan Ghina Rifgina, 21, mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Indonesia mengatakan kemalasan menjadi tantangan mempelajari bahasa asing. "Selama belajar bahasa asing tuh, aku suka mageran (malas)," ujar dia.

Dia pun sadar bahwa kebiasaan ini tidak akan menunjang penguasaan bahasa asing. Terlebih, dia menginginkan dapat mengerjakan proyekproyek bersama dengan orang asing.

Perempuan yang tengah mengasah Bahasa Inggris selain Jepang yang lebih dahulu dikuasainya itu mengatakan bahwa penguasaan bahasa asing tidak sekedar mampu berbahasa secara lancar. Namun, bahasa dapat menjadi jembatan untuk menguasai bidang baru maupun bekerja sama dengan pekerja-pekerja di berbagai belahan dunia. din/E-6

Baca Juga: