Selama masa pandemi, pemerintah Indonesia terus bergiat memulihkan industri otomotif dalam negeri, termasuk mendorong produksi lebih dari 2 juta unit kendaraan listrik, atau 400 ribu unit mobil dan 1,76 juta unit motor listrik pada tahun 2025.
Rencana pemerintah ini sudah muncul sejak 2019 dan tertuang dalam Peraturan Presiden No 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Kendati begitu, peningkatan produksi kendaraan listrik berisiko membawa pada persoalan baru: peningkatan volume sampah baterai litium kendaraan-kendaraan tersebut.
Jika kendaraan listrik mulai dipopulerkan pada tahun 2020, maka baterai-baterai bekas ditaksir akan mulai bermunculan pada tahun 2023.
Prediksi tersebut mengacu pada klaim berbagai pabrikan mengenai masa pakai baterai. Sepeda motor listrik merk Gesits, misalnya, hanya menjamin garansi baterai selama 3 tahun, NIU selama 2 tahun, maupun Viar selama setahun. Sementara, umur baterai mobil listrik diklaim lebih panjang. Mobil Tesla bisa mencapai 8 tahun dan mobil Hyundai 8 tahun. Oleh karena itu, baterai bekas mobil diprediksi akan mulai bermunculan pada tahun 2028.
Tanpa regulasi yang ketat terkait pengelolaan baterai bekas dari kendaraan listrik, Indonesia terancam menghadapi tumpukan sampah bahan berbahaya di tempat pembuangan sampah (TPA) hingga eksploitasi sumber daya tambang. Karena itu, sebagai peneliti hukum lingkungan, mengusulkan 2 hal yang harus diatur oleh pemerintah Indonesia terkait baterai litium kendaraan listrik :
Tidak berakhir di tempat pembuangan sampah (TPA)
"Baterai litium memiliki dampak langsung bagi lingkungan apabila dibuang secara tidak bertanggung jawab, baterai jenis ini mengandung berbagai kandungan logam seperti kobalt (Co), tembaga (Cu), nikel (Ni), dan timbal (Pb) yang berisiko mencemari lingkungan sekitar tempat pembuangan, baterai jenis ini juga terkenal rawan terbakar dan meledak sehingga berpotensi menimbulkan masalah jika dibuang ke tempat pembuangan akhir," Muhammad Hida Lazuardi Indonesia Center Enverionmental Law (ICEL) yang dilansir dari The Conversation. Guna meredam dampak tersebut, Pemerintah Indonesia dapat belajar dari Swiss yang telah mendaur ulang 68% dari total 120 juta produk baterai lithium yang dibeli saban tahun.
Melalui sejumlah peraturan, pemerintah Swiss mewajibkan pengembalian baterai bekas ke penjual atau ke tempat pengumpulan. Penjual pun wajib menerima baterai yang dikembalikan tersebut. Dalam Peraturan tentang Pengurangan Risiko Terkait dengan Penggunaan Zat Berbahaya Tertentu, Swiss mengatur kebijakan bagi konsumen untuk mengembalikan baterai ke produsen, penjual, atau fasilitas pengumpul baterai yang disediakan. Khusus baterai otomotif dimungkinkan untuk dikembalikan ke perusahaan yang bergerak khusus di bidang pengumpulan baterai.
Ada juga kebijakan lainnya yang mengatur kewajiban bagi penjual baterai untuk menerima baterai yang dikembalikan konsumen. Guna mendanai serangkaian proses tersebut, pemerintah Swiss menerapkan sejenis cukai yang dibayarkan bersamaan dengan pembelian baterai. Uang kemudian digunakan oleh institusi yang ditunjuk pemerintah untuk pengumpulan, transportasi, daur ulang, meningkatkan rasio pengumpulan, maupun berbagai kegiatan terkait pengelolaan sampah baterai.
Pengaturan alih fungsi baterai bekas kendaraan listrik dalam kebijakan khusus
Supaya penggunaannya lebih optimal, sejumlah studi sudah dilakukan untuk meneliti potensi penggunaan baterai bekas kendaraan sampai pada akhir kegunaan baterai tersebut ketika baterai benar-benar tidak dapat digunakan untuk menampung daya. Usulannya, baterai yang tidak lagi efektif digunakan untuk operasional kendaraan dapat dialihfungsikan pada instalasi yang tetap. Misalnya, studi yang diakukan oleh ahli otomotif, The School of Industrial, Aerospace and Audiovisual Engineering of Terrassa, Lluc Canals, dan kawan-kawan. Studi tersebut menunjukkan bahwa penggunaan baterai bekas untuk stasiun pengisian baterai dapat memberikan keuntungan baik secara lingkungan dan ekonomis. Manfaat yang sama juga dapat diperoleh melalui alih fungsi baterai bekas kendaraan ke penyimpanan daya pembangkit listrik tenaga surya.
Selain itu, studi yang dilakukan tim peneliti Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat juga menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan mengenai penggunaan baterai bekas sebagai penunjang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Berdasarkan dua studi di atas, pemerintah sebenarnya dapat mendorong produsen untuk memastikan baterai litium memiliki spesifikasi yang memungkinkan baterai untuk digunakan lagi atau setidak-tidaknya mempermudah proses daur ulang.
Upaya intervensi semacam ini telah dilakukan pemerintah dalam Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Peraturan yang terbit pada tahun 2019 tersebut mengatur produsen untuk salah satunya mengubah kemasan produk mereka untuk mempermudah pengurangan, guna ulang, dan daur ulang plastik. Dengan menggunakan pendekatan yang sama, negara dapat mengoptimalkan penggunaan baterai sekaligus menekan dampaknya terhadap lingkungan.